
GRB Project – Reformasi hukum hak perempuan di Indonesia bergerak cepat seiring meningkatnya tuntutan keadilan dan penghapusan diskriminasi.
Reformasi hukum hak perempuan berangkat dari kenyataan bahwa banyak perempuan masih menghadapi kekerasan, diskriminasi, dan hambatan hukum. Aturan yang ada sering lemah pada tahap penegakan. Selain itu, korban kerap terbebani pembuktian dan stigma sosial.
Karena itu, reformasi hukum hak perempuan menuntut perubahan menyeluruh. Bukan hanya pada teks undang-undang, tetapi juga pada praktik aparat penegak hukum. Bahkan, pendekatan berbasis korban perlu menjadi standar.
Di sisi lain, ketimpangan kekuasaan gender membuat banyak kasus tidak pernah sampai ke ranah hukum. Reformasi hukum hak perempuan harus mengurangi ketimpangan tersebut melalui perlindungan yang jelas dan akses bantuan hukum.
Sejumlah undang-undang sudah memuat perlindungan terkait reformasi hukum hak perempuan, seperti aturan tentang kekerasan dalam rumah tangga dan tindak pidana kekerasan seksual. Namun, pelaksanaan di lapangan sering tidak konsisten.
Meski begitu, adanya perangkat hukum khusus tetap menjadi langkah penting. Namun, reformasi hukum hak perempuan menuntut sinkronisasi lintas sektor. Aturan keluarga, ketenagakerjaan, dan pidana harus selaras.
Sementara itu, budaya patriarkal masih memengaruhi tafsir aparat di pengadilan dan kepolisian. Akibatnya, reformasi hukum hak perempuan sering terhambat sikap bias yang menyalahkan korban.
Negara memegang peran sentral dalam reformasi hukum hak perempuan melalui kebijakan, anggaran, dan pengawasan penegakan. Tanpa komitmen politik yang kuat, perubahan hanya berhenti pada teks hukum.
Selain itu, aparat penegak hukum perlu pelatihan berkelanjutan tentang perspektif gender. Reformasi hukum hak perempuan bukan sekadar menambah pasal, tetapi mengubah cara pandang dalam menangani perkara.
Setelah itu, sistem pengaduan harus mudah diakses, aman, dan ramah korban. Reformasi hukum hak perempuan juga menuntut adanya standar prosedur tetap yang jelas untuk setiap tahap penanganan kasus.
Reformasi hukum hak perempuan menjadi lebih kuat ketika perempuan dan penyintas terlibat aktif dalam proses pembentukan undang-undang. Pengalaman langsung mereka membantu mengidentifikasi celah regulasi.
Karena itu, konsultasi publik inklusif perlu dijalankan sejak tahap awal. Reformasi hukum hak perempuan menuntut ruang aman bagi penyintas untuk bersuara tanpa ancaman atau intimidasi.
Transparansi pembahasan rancangan undang-undang juga menjadi kunci. Dengan begitu, reformasi hukum hak perempuan tidak hanya ditentukan elite politik, tetapi benar-benar menjawab kebutuhan di lapangan.
Read More: Global perspectives on advancing legal reforms for women’s human rights
Perkembangan standar hak asasi internasional memberi rujukan penting bagi reformasi hukum hak perempuan di tingkat nasional. Konvensi dan rekomendasi internasional mendorong negara menyesuaikan hukum domestik.
Namun, adopsi standar tersebut sering berhadapan dengan resistensi budaya dan politik. Meski begitu, reformasi hukum hak perempuan dapat menggunakan instrumen internasional sebagai alat advokasi dan legitimasi.
Reformasi hukum hak perempuan akan lemah tanpa mekanisme penegakan yang efektif. Layanan terpadu yang menggabungkan pendampingan hukum, psikologis, dan sosial menjadi kebutuhan mendesak.
Selain itu, perlindungan saksi dan korban harus dipastikan sejak tahap pelaporan hingga persidangan. Reformasi hukum hak perempuan juga perlu mendorong pemanfaatan teknologi untuk pelaporan aman dan dokumentasi bukti.
Akibatnya, beban korban dapat berkurang dan angka pelaporan meningkat. Dengan demikian, reformasi hukum hak perempuan tidak berhenti di atas kertas, tetapi terasa dalam pengalaman sehari-hari perempuan.
Ke depan, reformasi hukum hak perempuan perlu menempatkan keadilan substantif di atas formalitas prosedural. Fokusnya bukan hanya menghukum pelaku, tetapi juga memulihkan korban dan mencegah kekerasan berulang.
Inovasi kebijakan bisa mencakup penguatan kuota partisipasi perempuan dalam peradilan, insentif bagi aparat yang responsif gender, dan pengawasan publik atas proses penegakan. Selain itu, kolaborasi antara negara dan masyarakat sipil harus diperkuat.
Pada akhirnya, reformasi hukum hak perempuan hanya akan berhasil bila didukung perubahan budaya dan keberanian politik untuk membongkar struktur diskriminatif yang sudah lama mengakar. Dengan konsistensi, reformasi hukum hak perempuan dapat menghadirkan sistem keadilan yang benar-benar melindungi martabat perempuan, serta menjamin reformasi hukum hak perempuan sebagai fondasi kesetaraan yang berkelanjutan.