
GRB Project – Perkawinan anak dan kearifan lokal kini menjadi fokus utama dalam upaya melindungi hak anak di Indonesia, terutama ketika praktik budaya berbenturan dengan kewajiban negara menjamin tumbuh kembang yang layak bagi setiap anak.
Perkawinan anak dan kearifan lokal sering dianggap saling terkait, terutama di wilayah yang memegang kuat adat dan tradisi turun-temurun. Dalam beberapa komunitas, pernikahan dini dipandang sebagai cara menjaga kehormatan keluarga. Namun, pandangan ini bertentangan dengan prinsip dasar hak anak yang menempatkan kepentingan terbaik anak sebagai pertimbangan utama.
Praktik ini biasanya berakar pada faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Keluarga yang kesulitan finansial kadang melihat perkawinan anak dan kearifan lokal sebagai jalan keluar. Di sisi lain, kekhawatiran terhadap pergaulan bebas membuat sebagian orang tua memilih menikahkan anak lebih cepat. Meski begitu, dampak jangka panjang bagi kesehatan fisik, mental, dan pendidikan anak sering diabaikan.
Dari perspektif hukum, hak anak dilindungi oleh berbagai instrumen nasional dan internasional. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak yang menegaskan hak atas pendidikan, kesehatan, dan perlindungan dari eksploitasi. Karena itu, perkawinan anak dan kearifan lokal harus ditafsirkan ulang agar selaras dengan komitmen tersebut.
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia juga telah merevisi batas usia minimal perkawinan untuk laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun. Aturan ini menegaskan bahwa anak membutuhkan waktu yang cukup untuk berkembang sebelum memasuki pernikahan. Namun, implementasi kebijakan sering berbenturan dengan praktik adat yang masih membenarkan pernikahan di usia sangat muda.
Dampak negatif perkawinan anak meluas pada banyak aspek kehidupan. Perempuan yang menikah di usia anak berisiko tinggi mengalami komplikasi kehamilan. Selain itu, mereka rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga karena belum matang secara psikologis dalam menghadapi konflik.
Pendidikan juga sangat terdampak. Anak yang dinikahkan biasanya berhenti sekolah dan kehilangan kesempatan meningkatkan kapasitas dirinya. Akibatnya, kemiskinan cenderung berlanjut antar generasi. Dalam konteks ini, mempertahankan perkawinan anak dan kearifan lokal tanpa koreksi nilai akan memperkuat lingkaran ketidakadilan sosial.
Tidak semua kearifan lokal bertentangan dengan hak anak. Di banyak daerah, terdapat nilai tradisional yang justru mendorong perlindungan dan penghormatan terhadap anak. Misalnya, ada adat yang menekankan pentingnya pendidikan dan melarang perkawinan sebelum anak dianggap matang secara sosial dan ekonomi.
Pemaknaan ulang terhadap perkawinan anak dan kearifan lokal dapat dilakukan dengan mengangkat nilai-nilai positif yang sudah ada. Tokoh adat dan agama berperan penting menjelaskan bahwa menjaga martabat keluarga dapat diwujudkan dengan memastikan anak berpendidikan, sehat, dan siap secara mental sebelum menikah.
Pemerintah memiliki kewajiban konstitusional melindungi anak melalui regulasi, program pendidikan, dan layanan sosial. Namun, tanpa dukungan tokoh adat dan masyarakat, kebijakan akan sulit berjalan. Karena itu, dialog mengenai perkawinan anak dan kearifan lokal harus melibatkan semua pihak.
Pelatihan bagi tokoh agama, pemimpin adat, dan aparat desa dapat membantu mereka menjelaskan risiko medis, psikologis, dan sosial perkawinan dini. Sementara itu, kampanye publik yang sensitif budaya dapat mengajak masyarakat melihat kembali praktik lama dengan kacamata baru yang lebih berpihak pada masa depan anak.
Pendidikan menjadi kunci perubahan. Ketika anak, terutama perempuan, mendapat akses pendidikan menengah dan tinggi, angka perkawinan dini cenderung menurun. Meski ada kearifan lokal yang mendorong pernikahan cepat, meningkatnya pengetahuan membuat keluarga mulai mempertimbangkan dampak jangka panjang.
Dukungan ekonomi juga penting. Program bantuan sosial, pemberdayaan ekonomi keluarga, dan pelatihan keterampilan dapat mengurangi tekanan ekonomi yang sering dijadikan alasan. Dengan demikian, keluarga tidak lagi menjadikan perkawinan anak dan kearifan lokal sebagai strategi bertahan hidup.
Baca Juga: Laporan komprehensif mengenai tren dan dampak perkawinan anak di Indonesia
Kearifan lokal sejatinya bersifat dinamis. Nilai adat dapat ditafsirkan ulang agar sesuai perkembangan zaman tanpa kehilangan jati diri budaya. Dalam kerangka ini, perkawinan anak dan kearifan lokal perlu ditempatkan dalam diskusi yang lebih luas tentang martabat manusia dan keadilan antar generasi.
Komunitas dapat mengembangkan kesepakatan baru, misalnya usia minimal pernikahan yang lebih tinggi, kewajiban menyelesaikan pendidikan dasar, atau penguatan peran keluarga besar dalam mencegah pemaksaan pernikahan. Proses ini membutuhkan waktu, tetapi terbukti lebih efektif karena perubahan datang dari dalam masyarakat sendiri.
Pendekatan advokasi yang memusuhi budaya sering menimbulkan penolakan. Karena itu, strategi berbasis budaya menjadi penting. Aktivis dan pekerja sosial perlu memahami narasi lokal yang membenarkan perkawinan dini. Setelah itu, mereka dapat mengajukan narasi tandingan yang memadukan hak anak dengan nilai luhur setempat.
Penguatan pesan bahwa anak adalah amanah dan generasi penerus dapat menjadi jembatan. Dengan begitu, upaya mengurangi perkawinan anak dan kearifan lokal yang merugikan dapat berjalan tanpa merendahkan identitas budaya masyarakat. Pendekatan ini terbukti lebih diterima dan berkelanjutan.
Ke depan, tantangan utama adalah menjaga keseimbangan antara penghormatan tradisi dan perlindungan hak anak. Negara, masyarakat, dan keluarga perlu menyadari bahwa perkawinan anak dan kearifan lokal bukanlah sesuatu yang tak bisa diubah. Justru kearifan sejati terlihat ketika komunitas mampu memperbaiki praktik yang merugikan anggotanya yang paling rentan.
Dukungan informasi yang mudah diakses, layanan konseling, dan ruang aman bagi anak untuk menyampaikan pendapat akan memperkuat perlindungan. Di titik ini, penguatan hak anak tidak lagi dipandang berseberangan dengan kebudayaan, melainkan sebagai wujud penyempurnaan nilai luhur yang sudah ada.
Pada akhirnya, masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh kualitas generasi muda. Upaya menahan laju perkawinan anak dan kearifan lokal yang selama ini membenarkannya menjadi langkah mendesak untuk memastikan setiap anak dapat tumbuh, belajar, dan memilih jalan hidupnya dengan bebas dan bermartabat. Untuk pemahaman yang lebih mendalam, pembaca dapat merujuk pada perkawinan anak dan kearifan yang mengulas hubungan antara tradisi dan hak anak secara lebih terperinci, sehingga dorongan perubahan sosial dapat semakin menguat di tingkat akar rumput.