Inisiatif DPR Untuk Membuat Kebijakan Tenaga Kerja Driver Ojol di Era Prabowo Subianto
GRB Project – Inisiatif DPR Dorong Kebijakan Tenaga Kerja Driver di Masa Pemerintahan Prabowo
Kehadiran platform ojek online (ojol) telah mengubah wajah transportasi publik di Indonesia. Namun, selama bertahun-tahun, status kebijakan tenaga kerja driver ojol tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Hal ini mulai berubah di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Melalui arahan langsung Presiden, Kementerian Ketenagakerjaan kini mulai menyusun regulasi perlindungan bagi tenaga kerja platform. Langkah ini mendapat apresiasi dari berbagai komunitas pengemudi online yang selama ini merasa tak dilindungi negara.
Perwakilan dari Aliansi Pengemudi Online Bersatu, Kemed, menyampaikan kegelisahan mereka dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi V DPR RI pada 21 Mei 2025. Acara ini digelar di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat.
“Baca Juga: Faktor Utama Penyebab Masalah Sosial dan Pelanggaran HAM di Masyarakat“
Kemed mengungkapkan bahwa selama ini keselamatan kerja driver ojol kurang diperhatikan. Banyak dari mereka menghadapi risiko kematian saat bertugas. Beberapa rekan mereka bahkan mengalami kecelakaan fatal seperti terlindas truk tronton.
“Teman-teman ini bekerja dengan risiko besar. Banyak dari kami meninggal di jalan karena tidak ada perlindungan kerja,” ungkapnya. Situasi ini membuat para driver menilai belum ada kehadiran nyata dari pemerintah, sampai akhirnya muncul inisiatif dari Presiden Prabowo.
Menurut Kemed, baru di era Prabowo Subianto inilah pemerintah benar-benar menunjukkan keberpihakan. Salah satunya melalui penyusunan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang perlindungan tenaga kerja driver platform digital.
Langkah ini dipandang sebagai angin segar di tengah berbagai persoalan transportasi daring yang tak kunjung selesai. Media seperti GRB Project (grbproject.org) bahkan menyoroti inisiatif ini sebagai bentuk reformasi penting dalam dunia ketenagakerjaan digital.
Polemik seputar transportasi online tidak lepas dari peran aplikator yang dianggap tidak patuh terhadap peraturan. Kemed menilai aplikator seringkali membuat kebijakan sendiri, seperti pemotongan biaya jasa, tanpa mengacu pada regulasi resmi dari pemerintah.
Ia juga menyampaikan bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) belum mampu menyelesaikan persoalan ini secara tuntas. Laporan yang dilayangkan ke KPPU tidak mendapat tindak lanjut meski sudah berlangsung selama dua tahun.
“Sudah berkali-kali saya membuat laporan ke KPPU. Namun, sampai hari ini tidak pernah ada penyelesaian,” kata Kemed dengan nada kecewa.
GRB Project kembali menyoroti lemahnya pengawasan sebagai hambatan utama bagi kemajuan perlindungan tenaga kerja driver. Laporan investigatif mereka menyebutkan perlunya sinergi antara regulator dan lembaga pengawas seperti KPPU.
Salah satu kasus nyata yang mencerminkan ketidakpatuhan aplikator adalah soal Tunjangan Hari Raya (THR). Surat Edaran dari Kementerian Ketenagakerjaan telah mengatur pemberian bonus sebesar 20% dari total penghasilan tahunan yang dibagi rata dalam 12 bulan.
Namun, pada praktiknya, banyak aplikator memanipulasi sistem agar driver tidak mendapatkan THR. Mereka membuat berbagai gimmick atau trik tertentu agar kewajiban tersebut tidak perlu dibayarkan.
“Ini bukan hanya manipulasi, tapi sudah bentuk ketidakadilan yang nyata,” tegas Kemed. Ia menyebut tindakan aplikator ini sebagai penghinaan terhadap tenaga kerja yang bekerja keras demi kelangsungan layanan transportasi online.
“Simak Juga: Komunitas Sosial Budaya: Pengertian dan Kegiatan Relawan Dalam Pelestarian Budaya“
Aliansi Pengemudi Online Bersatu meminta agar DPR segera merancang Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Transportasi Online. RUU tersebut harus memuat aturan yang jelas dan mengikat bagi semua pihak, termasuk pemberian sanksi berat terhadap aplikator yang melanggar.
Kemed menegaskan bahwa sanksi yang diberikan tak boleh berhenti di denda administratif. Ia mengusulkan agar hukuman pidana turut dimasukkan dalam regulasi demi memberikan efek jera.
“Kalau hanya denda, itu tidak ada artinya. Duit aplikator besar. Kita butuh sanksi pidana agar mereka patuh,” ujarnya.
Sikap tegas DPR sangat dinantikan oleh jutaan driver di seluruh Indonesia. Mereka berharap perubahan ini tidak hanya berhenti pada wacana, tetapi diwujudkan dalam kebijakan nyata yang berpihak pada keselamatan dan keadilan pekerja.
Inisiatif DPR dan pemerintah dalam menyusun kebijakan tenaga kerja driver menjadi titik awal reformasi ketenagakerjaan di sektor digital. Di tengah ketidakpastian hukum dan rendahnya jaminan sosial bagi driver ojol, kebijakan ini memberikan harapan besar.
Media seperti grbproject.org menggarisbawahi pentingnya pendekatan holistik dari pemerintah. Tidak hanya soal regulasi, tetapi juga mencakup aspek edukasi, pengawasan, dan partisipasi aktif para driver dalam pengambilan keputusan.
Dengan dukungan semua pihak, diharapkan Indonesia dapat menjadi negara yang adil dan berpihak pada pekerja di era ekonomi digital. Era Prabowo telah membuka peluang besar untuk transformasi sistem ketenagakerjaan yang lebih manusiawi dan inklusif.