GRB Project – Di tengah perubahan zaman, generasi abdi di Surabaya masih bertahan dengan semangat. Mereka bukan guru biasa yang mengajar demi gaji. Mereka hadir sebagai pengabdi ilmu di tengah masyarakat. Banyak yang mengajar di wilayah pinggiran kota Surabaya. Tanpa fasilitas layak, mereka tetap menjalankan tugas dengan teguh. Beberapa dari mereka adalah guru honorer dengan gaji kecil. Namun semangat mereka tetap besar dan menyala setiap hari. Generasi ini sering luput dari perhatian media dan pemerintah. Mereka mengajar dengan metode tradisional yang dianggap kuno. Namun tak sedikit yang merasa metode itu menyentuh hati murid. Generasi ini kerap disebut sulit dipahami oleh generasi muda.
“Baca Juga : Kegiatan Komunitas Relawan Adipati di Colorado, Aksi Sosial Pengalaman Hidup”
Mayoritas guru dari generasi abdi berasal dari keluarga sederhana. Mereka besar dengan nilai gotong royong dan keikhlasan. Banyak yang menganggap profesi guru sebagai jalan ibadah. Bukan hanya pekerjaan untuk mencari nafkah belaka. Keputusan menjadi guru bukan karena keterpaksaan. Melainkan karena keyakinan akan pentingnya ilmu. Mereka rela mengabdi meski ditempatkan di daerah terpencil. Bahkan tanpa transportasi memadai, mereka tetap hadir di kelas. Idealisme yang mereka bawa bukan basa-basi. Mereka percaya pendidikan bisa mengubah nasib bangsa. Meski cara mereka terlihat tak relevan menurut standar kini. Semangatnya tetap menjadi bahan refleksi bagi semua generasi.
Generasi abdi Surabaya punya gaya mengajar yang khas. Mereka suka menggunakan cerita rakyat dan peribahasa Jawa. Murid-murid sering diajak berdiskusi lewat dongeng dan syair. Tidak semua murid generasi sekarang memahami cara ini. Ada yang merasa metode itu membosankan atau jadul. Tapi tak sedikit yang justru menyukainya karena menyentuh rasa. Guru-guru ini percaya bahwa pendidikan bukan hanya otak. Tapi juga soal hati dan karakter yang dibangun bersama. Mereka menolak terlalu bergantung pada teknologi. Baginya, hubungan langsung antara guru dan murid adalah inti belajar. Murid diajak melihat nilai kehidupan, bukan sekadar lulus ujian. Cara ini mungkin lambat, tapi memberi bekas jangka panjang.
“Simak juga: Perjalanan Hidup David Steward: Dari Nol ke Triliuner”
Salah satu tantangan utama generasi abdi adalah teknologi. Banyak dari mereka tak familiar dengan komputer atau gadget modern. Di tengah tuntutan digitalisasi, mereka sering tertinggal. Namun, kekurangan itu tak membuat mereka berhenti. Mereka menggunakan papan tulis dan kapur dengan percaya diri. Menggambar peta atau eksperimen dengan alat sederhana. Setiap pembelajaran mereka rancang dengan tangan, bukan mesin. Mereka percaya makna pendidikan tidak harus bergantung pada teknologi. Selama murid bisa mengerti dan berubah menjadi lebih baik. Maka metode apapun sah untuk digunakan. Tantangan digitalisasi memang berat, tapi mereka punya cara tersendiri. Cara itu lahir dari pengalaman panjang di lapangan nyata.
Banyak cerita tentang murid yang tetap ingat guru generasi ini. Setelah puluhan tahun, masih menganggap guru mereka sebagai orang tua. Hal ini jarang terjadi pada guru zaman sekarang. Generasi abdi membangun hubungan berdasarkan rasa hormat dan kasih. Mereka hadir di rumah murid saat orang tua tak bisa. Mereka menyumbang jika ada keluarga murid yang kesusahan. Perhatian mereka melampaui jam kerja dan batas kurikulum. Mereka tahu nama semua murid, bahkan latar keluarganya. Ikatan ini membuat proses belajar lebih hidup dan bermakna. Tidak ada jurang antara guru dan murid, hanya ruang saling percaya. Di mata mereka, semua murid punya potensi tanpa batas.
Banyak yang mengkritik generasi abdi karena dianggap ketinggalan zaman. Mereka disebut tidak inovatif atau anti perubahan. Namun, mereka menyikapinya dengan tenang dan rendah hati. Mereka tak membantah atau melawan dengan kata-kata. Tapi membuktikan dengan tindakan dan dedikasi setiap hari. Mereka tetap membaca buku, meski tak mengerti gadget terbaru. Mereka menghadiri pelatihan meski sulit mengikutinya. Bahkan, beberapa mulai belajar menggunakan laptop dengan bantuan murid. Mereka tahu bahwa zaman berubah dan mereka harus ikut bergerak. Tapi prinsip mereka tetap sama: mendidik dengan hati dan pengabdian. Kritik menjadi bahan belajar, bukan bahan perpecahan.
Banyak yang khawatir generasi abdi akan hilang ditelan zaman. Tak ada lagi guru yang mengajar dengan rasa sepenuh hati. Dunia pendidikan mulai penuh target, anggaran, dan persaingan. Tapi keberadaan mereka masih menjadi pengingat penting. Bahwa pendidikan bukan hanya soal hasil, tapi juga proses. Guru bukan hanya pengajar, tapi penuntun moral dan nurani. Meski sulit dipahami, nilai mereka tak bisa diabaikan begitu saja. Mereka ibarat pelita kecil yang menerangi jalan sunyi. Harus ada upaya untuk mengarsipkan metode dan kisah mereka. Supaya generasi berikutnya tak kehilangan akar pendidikannya. Generasi abdi adalah warisan yang harus terus dijaga bersama.