GRB Project – Sepanjang jalur Pantura Jawa, geliat pemberdayaan ekonomi mulai terasa. Kali ini datang dari kelompok difabel. Mereka tak lagi sekadar penerima bantuan. Melainkan pelaku aktif pembangunan lokal. Di berbagai kota kecil, komunitas difabel membentuk koperasi. Mereka membuka usaha kecil. Mulai dari kerajinan tangan hingga makanan ringan. Semua dikelola secara mandiri. Pemerintah daerah mendukung lewat pelatihan. Juga lewat bantuan modal awal. Kegiatan ini menunjukkan bahwa difabel tak bisa diremehkan. Mereka punya potensi ekonomi. Bahkan mampu menciptakan lapangan kerja baru. Masyarakat sekitar pun ikut terbantu. Kemandirian menjadi tujuan utama dari gerakan ini.
Pelatihan dilakukan secara rutin oleh komunitas lokal. Materi mencakup keterampilan praktis seperti menjahit, membuat sabun, atau mengelola media sosial. Pelatihan ini bukan sekadar formalitas. Hasilnya langsung diterapkan dalam usaha nyata. Peserta pelatihan bisa memilih bidang sesuai minat. Ada yang memilih kuliner. Ada juga yang fokus pada digital marketing. Semua difabel diberi ruang untuk berkembang. Bahkan beberapa menjadi mentor bagi yang lain. Semangat gotong royong sangat terasa. Pelatihan diselenggarakan di balai desa atau rumah komunitas. Fasilitas disediakan secara kolektif. Komunitas juga mengundang pelatih profesional. Mereka berbagi pengetahuan dan pengalaman. Tak jarang peserta pelatihan langsung membuka usaha.
“Baca Juga : Pemberdayaan Komunitas Sosial Budaya: Contoh Kegiatan dan Visi Misi Relawan”
Koperasi menjadi tulang punggung program ini. Anggotanya adalah para difabel dari berbagai usia. Setiap anggota menyetor modal sesuai kemampuan. Lalu koperasi mengelola dana secara transparan. Usaha yang dijalankan bermacam-macam. Beberapa memproduksi batik cap. Lainnya menjual makanan khas daerah. Bahkan ada yang menawarkan jasa terjemahan daring. Koperasi juga menjadi tempat belajar manajemen. Anggota belajar membuat laporan keuangan sederhana. Juga belajar soal pembukuan dan pemasaran. Tak hanya itu. Koperasi juga menjalin kerja sama dengan toko lokal. Produk difabel masuk ke pasar. Dengan sistem bagi hasil yang adil. Semua berjalan dengan asas saling percaya.
Pemerintah daerah terlibat dalam perencanaan program. Mereka menyediakan data kelompok difabel. Juga memfasilitasi pelatihan dan perizinan usaha. Bahkan beberapa dinas memberi akses pemasaran lewat pameran daerah. Dana CSR perusahaan swasta juga diarahkan ke komunitas ini. Pemerintah menyediakan ruang usaha gratis di pasar tradisional. Beberapa pelaku usaha difabel sudah punya kios sendiri. Pemerintah juga mempromosikan produk mereka lewat media sosial. Kampanye ini meningkatkan kepercayaan konsumen. Pembinaan terus dilakukan secara berkala. Bila ada masalah, tim pendamping langsung turun tangan. Hal ini mendorong keberlanjutan. Tidak berhenti hanya pada tahap bantuan awal. Melainkan membentuk sistem usaha yang stabil.
“Simak juga: Gugur di Gaza, Dokter UIN Jakarta Jadi Pahlawan Kemanusiaan”
Di Brebes, sekelompok perempuan difabel berhasil memproduksi tas rajut. Mereka memasarkan produk secara daring. Omzet bulanannya mencapai jutaan rupiah. Di Rembang, komunitas tuna netra membuka usaha pijat tradisional. Mereka menyewa ruko kecil di pinggir jalan utama. Pelanggannya datang dari berbagai kalangan. Bahkan ada pelanggan tetap yang datang tiap minggu. Di Kudus, komunitas difabel membentuk grup pertunjukan musik akustik. Mereka tampil di acara pernikahan dan festival daerah. Pendapatan dibagi rata. Setiap anggota merasa dihargai. Bukan karena belas kasihan, tapi karena keterampilan. Cerita-cerita ini tersebar lewat media lokal. Banyak yang kemudian terinspirasi mengikuti jejak mereka.
Komunitas difabel juga menjalin kemitraan dengan UMKM sekitar. Beberapa UMKM membeli produk kerajinan mereka sebagai suvenir. Lembaga sosial membantu menghubungkan dengan pasar lebih luas. Bahkan ada yang membantu urusan ekspor. Produk batik dari komunitas difabel Jepara pernah masuk pasar Malaysia. Kolaborasi ini saling menguntungkan. UMKM dapat produk unik. Komunitas difabel dapat akses distribusi. Lembaga sosial juga mendampingi secara hukum. Termasuk pembuatan badan hukum koperasi. Hal ini penting agar mereka dapat bantuan resmi. Beberapa koperasi kini sudah punya nomor induk usaha. Legalitas mempermudah pengajuan proposal. Termasuk ke pemerintah pusat atau lembaga donor luar negeri.