GRB Project – Tradisi kawin lari atau merariq di kalangan Suku Sasak masih menuai perdebatan. Di satu sisi dianggap sebagai warisan budaya. Di sisi lain, seringkali menjadi jalan pintas menuju pernikahan anak. Banyak pasangan menikah di bawah umur dengan dalih adat. Ini memunculkan keresahan di kalangan pemerhati hak anak. Namun, bagi tokoh adat Sasak, pernikahan dini bukan sekadar soal usia, melainkan bagian dari identitas budaya yang tak bisa dihapus begitu saja. Polemik ini pun terus bergulir antara pelestarian tradisi dan perlindungan anak.
Dalam budaya Sasak, merariq dianggap sebagai simbol keberanian dan kematangan. Laki-laki harus “membawa” perempuan dari rumahnya, lalu menikah melalui serangkaian prosesi adat. Ini bukan penculikan, tapi bentuk kesepakatan tersembunyi. Bagi masyarakat adat, inilah bukti bahwa laki-laki siap berumah tangga. Sayangnya, praktik ini sering dimanfaatkan sebagai celah untuk menikahkan anak usia sekolah. Beberapa keluarga justru bangga jika anaknya cepat menikah. Tradisi jadi alasan kuat, padahal belum tentu anak siap secara mental. Tokoh adat mengakui ada penyimpangan, tapi tetap menekankan bahwa makna aslinya jauh dari paksaan.
“Baca Juga : Organisasi Komunitas Relawan, Kelompok Sukarelawan Berjiwa Sosial Tinggi”
Secara hukum, usia minimal menikah adalah 19 tahun. Tapi praktik adat seringkali tidak sejalan. Banyak kasus merariq terjadi tanpa pencatatan resmi. Tokoh adat kerap jadi penengah, bukan penghalang. Pemerintah daerah mencoba melakukan sosialisasi. Namun belum semua desa merespons positif. Beberapa tokoh adat merasa aturan negara terlalu kaku terhadap tradisi lokal. Di sinilah ketegangan muncul. Anak bisa putus sekolah karena sudah menikah. Perempuan muda rentan mengalami tekanan ekonomi dan sosial. Hukum dan adat harus menemukan jalan tengah. Beberapa desa mulai membatasi usia pernikahan, tapi butuh waktu untuk perubahan menyeluruh.
Tidak semua tokoh adat bersikukuh mempertahankan praktik lama. Ada yang mulai terbuka. Mereka menyadari bahwa dampak pernikahan anak cukup serius. Tokoh-tokoh muda mulai mengadvokasi revisi terhadap adat. Mereka tetap mempertahankan nilai-nilai budaya, tapi dengan pendekatan yang lebih bijak. Misalnya, merariq tetap dilakukan, tapi hanya untuk pasangan dewasa. Edukasi dilakukan lewat forum adat dan pertemuan desa. Ini jadi angin segar. Perubahan tidak harus frontal. Tradisi bisa bertransformasi tanpa kehilangan jati diri. Suara tokoh adat sangat berpengaruh, karena dipercaya oleh masyarakat secara turun-temurun.
“Simak juga: Semprong Bagikan Kebahagiaan untuk Anak Yatim”
Pernikahan anak seringkali berkaitan dengan kondisi ekonomi. Orang tua merasa lebih ringan jika anak perempuan menikah cepat. Beban biaya berkurang. Namun, ini justru menambah siklus kemiskinan. Anak-anak yang menikah muda cenderung tidak menyelesaikan sekolah. Kesempatan kerja terbatas. Penghasilan rendah. Kehidupan rumah tangga pun rawan konflik. Di sisi lain, tekanan sosial juga besar. Anak perempuan merasa malu jika tidak menikah di usia remaja. Stigma “perawan tua” masih kuat. Perubahan pola pikir ini butuh proses panjang. Tapi semua dimulai dari lingkungan terdekat, termasuk para tokoh adat.
Beberapa organisasi lokal kini menggandeng tokoh adat untuk mengubah cara pandang soal usia pernikahan. Mereka tidak menyerang budaya, tapi membangun dialog. Tokoh adat dilibatkan dalam diskusi kebijakan dan kampanye edukasi. Ini terbukti lebih efektif. Masyarakat mulai mendengar. Anak-anak diberi ruang untuk bicara. Mereka bisa menyampaikan aspirasi di forum desa. Tokoh adat pun ikut mendukung program beasiswa dan sekolah remaja perempuan. Titik temu perlahan muncul. Tradisi tidak harus dibuang. Tapi harus dipastikan tidak melukai masa depan anak. Kolaborasi antar generasi jadi kunci perubahan.