GRB Project – Di Mauritania, ada tradisi yang masih terus berlangsung meski zaman berubah. Mauritania dan tradisi unik cari jodoh lewat berat badan menjadi pembicaraan hangat karena bertolak belakang dengan standar kecantikan global. Di negara ini, tubuh gemuk justru dianggap simbol kemakmuran. Tradisi ini berkembang kuat di daerah pedesaan, terutama pada musim pencarian jodoh. Banyak keluarga sengaja “menggemukkan” anak gadisnya agar lebih menarik di mata calon suami. Kebiasaan ini terus dipertahankan karena dianggap bagian dari identitas budaya.
“Baca Juga : Organisasi Komunitas Relawan, Kelompok Sukarelawan Berjiwa Sosial Tinggi”
Gadis muda dibesarkan dengan pola makan intensif. Sejak usia belasan, mereka diberi makanan tinggi lemak dan karbohidrat. Setiap hari, mereka mengonsumsi susu unta, bubur jagung, dan daging dalam jumlah besar. Keluarga percaya bahwa berat badan tinggi menunjukkan status keluarga yang sejahtera. Proses penggemukan ini disebut “leblouh” dan dilakukan oleh ibu atau nenek. Mereka mengatur jadwal makan dan bahkan memberi motivasi agar anak tidak menolak makanan. Dalam beberapa kasus, anak dipaksa makan hingga sepuluh kali sehari. Berat badan dianggap kunci sukses dalam perjodohan, bukan kepribadian atau pendidikan.
Pandangan laki-laki di Mauritania berbeda jauh dari tren global. Mereka mencari pasangan dengan tubuh besar karena dianggap lebih feminin dan matang. Lelaki percaya bahwa perempuan gemuk bisa merawat keluarga dengan baik. Tubuh besar juga dikaitkan dengan kesuburan dan kekuatan melahirkan. Dalam pesta pernikahan, perempuan berbadan besar sering dijadikan contoh ideal. Ibu-ibu bahkan merasa bangga jika anak gadisnya dipuji karena bentuk tubuhnya. Standar ini tetap kuat, meskipun banyak negara lain mulai bergeser ke arah tubuh ramping.
“Simak juga: Semprong Bagikan Kebahagiaan untuk Anak Yatim”
Pemerintah Mauritania sebenarnya sudah mencoba menyosialisasikan risiko kesehatan dari praktik leblouh. Dokter menyampaikan bahaya obesitas lewat radio dan TV lokal. Beberapa kampanye mengajak warga untuk mengubah pola makan. Namun, tradisi tetap kuat di tingkat rumah tangga. Banyak keluarga merasa bahwa modernisasi tidak bisa menggantikan warisan leluhur. Beberapa orang tua menolak perubahan karena takut anaknya sulit menikah. Pemerintah kesulitan menembus budaya yang dijaga turun-temurun. Edukasi jalan terus, tapi perubahan terjadi sangat lambat.
Generasi muda mulai terpapar tren global lewat media sosial. Mereka melihat standar kecantikan yang berbeda di Instagram dan TikTok. Beberapa anak muda mulai menghindari praktik leblouh karena sadar akan risiko obesitas. Namun, tekanan keluarga tetap kuat. Mereka sering dihadapkan pada dilema antara keinginan pribadi dan tuntutan budaya. Influencer lokal mencoba mengedukasi secara halus. Mereka menampilkan gaya hidup sehat tanpa langsung mengkritik tradisi. Proses perubahan berjalan perlahan, penuh kompromi antara budaya dan kesehatan.
Sebagian anak muda mencoba menjaga bentuk tubuh yang besar tanpa cara ekstrem. Mereka mengganti menu penggemukan dengan makanan sehat. Beberapa juga memilih olahraga ringan agar tubuh tetap aktif. Tradisi tetap dihargai, tapi caranya mulai berubah. Perempuan muda ingin tetap menarik tanpa harus mengorbankan kesehatan. Mereka tetap menjalani leblouh, namun tidak seketat generasi sebelumnya. Nilai budaya tetap dipertahankan, tapi dengan pendekatan yang lebih modern. Generasi baru mencari jalan tengah agar bisa tetap sehat sekaligus diterima dalam komunitas.