GRB Project – Batik Rianty tumbuh dari sebuah ruang kecil di gang sempit Yogyakarta. Di sanalah awal mula perjuangan seorang perempuan muda yang percaya pada nilai budaya. Usaha kecil itu menjual kain batik motif klasik yang dikerjakan pengrajin lokal. Produk-produknya dibawa langsung ke rumah-rumah oleh sang pemilik. Meski sering ditolak, ia tidak menyerah. Proses demi proses dijalani dengan sabar dan gigih. Semangatnya tak pernah surut, meski hanya bermodal keberanian dan keyakinan. Hari demi hari, nama Batik Rianty mulai dikenal. Mulanya di tingkat lokal. Lalu menjangkau pasar yang lebih luas. Kini,batik itu telah melangkah hingga ke panggung dunia.
“Baca Juga : Komunitas Sosial Budaya: Pengertian dan Kegiatan Relawan Dalam Pelestarian Budaya”
Motif batik klasik seperti parang, kawung, dan truntum diberi sentuhan modern tanpa kehilangan akar budaya. Rianty memadukan teknik pewarnaan alami dengan desain kontemporer yang menarik perhatian generasi muda. Selain bentuk dan warna, ia juga mengembangkan cerita di balik tiap motif. Proses kreatif dilakukan bersama pengrajin, bukan sekadar desainer. Itu membuat setiap karya terasa hidup. Ada narasi, ada emosi, dan ada identitas lokal. Berkat pendekatan ini, Batik Rianty tidak hanya menjual kain, tapi juga menghadirkan pengalaman budaya yang utuh. Keseimbangan antara warisan dan inovasi menjadi kekuatan utama brand ini.
Awalnya hanya berjualan di acara kampus dan bazar lokal. Setelah mengikuti berbagai pelatihan UMKM, Rianty mulai memahami pentingnya kualitas visual dan branding. Ia kemudian mengikuti lomba wirausaha nasional dan menjadi finalis. Di sanalah peluang besar mulai terbuka. Karyanya diperhatikan kurator mode dan didorong untuk tampil di Jakarta Fashion Week. Reputasinya meningkat, dan undangan dari luar negeri pun datang. Salah satu koleksinya kemudian tampil dalam pagelaran busana di New York. Batik Rianty resmi masuk ke catwalk internasional. Sebuah capaian luar biasa bagi label yang berawal dari gang kecil di Yogyakarta.
“Simak juga: Cerita Para Relawan Berjibaku Lawan Api di Yunani“
Tak hanya fokus pada bisnis, Rianty juga menjadikan batiknya sebagai sarana pemberdayaan. Ia merekrut ibu-ibu rumah tangga dari desa-desa sekitar. Mereka dilatih mencanting, mewarnai, dan memahami nilai estetika batik. Melalui pelatihan tersebut, perempuan desa bisa mandiri secara ekonomi. Mereka tak lagi bergantung sepenuhnya pada penghasilan suami. Hasil kerja mereka dihargai layak dan terus meningkat kualitasnya. Semangat gotong royong tumbuh bersama nilai kepercayaan. Kain-kain yang mereka hasilkan tidak hanya indah, tapi juga menyimpan makna solidaritas. Inilah yang membuat Batik Rianty berbeda: ia hadir sebagai gerakan sosial.
Strategi penjualan kini tak lagi bergantung pada toko fisik. Rianty aktif memasarkan produknya lewat platform digital. Ia membangun website sendiri dan mengisi akun media sosial dengan konten yang terstruktur. Setiap unggahan tak hanya memperlihatkan produk, tapi juga menceritakan proses di baliknya. Konsumen diajak mengenal nilai dan cerita batik secara lebih dalam. Hal ini memperkuat loyalitas pembeli, terutama generasi muda yang menyukai konten autentik. Penjualan online terus meningkat, bahkan meluas hingga ke luar negeri. Diaspora Indonesia di Eropa dan Amerika menjadi pelanggan tetap. Mereka bangga mengenakan batik dengan sentuhan kontemporer yang kuat.
Rianty punya banyak mimpi yang kini mulai ia wujudkan satu per satu. Ia ingin membangun sekolah batik untuk generasi muda. Ia juga merancang lini tenun agar bisa mengangkat lebih banyak warisan kain Nusantara. Rencana kerja sama dengan desainer asing sedang digodok. Semua itu dilakukan tanpa melupakan akar budaya yang jadi fondasi utama. Visi utamanya adalah menjadikan batik sebagai simbol gaya hidup global yang tetap berjiwa lokal. Tak hanya tampil di atas panggung mode, tapi juga mengisi ruang-ruang pendidikan dan sosial. Dengan semangat itu, Batik Rianty melangkah pasti ke masa depan.