GRB Project – Seorang siswa dari keluarga buruh harian berhasil lolos ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Ia membuktikan bahwa keterbatasan ekonomi tidak bisa menghentikan semangat belajar. Setiap hari ia membantu orang tuanya mencari nafkah, namun tetap mampu mempertahankan prestasi akademik. Namanya kini diperbincangkan sebagai simbol harapan bagi siswa dari kalangan marginal.
Ia tinggal di rumah sempit yang berdinding kayu dan beralaskan tanah. Ibunya bekerja mencuci pakaian tetangga, ayahnya menjadi buruh bangunan lepas. Dia belajar di ruang tamu sambil menjaga adiknya. Ia tidak punya meja belajar, tapi tetap mencatat materi dengan rapi. Ia sering meminjam buku bekas dan mencatat poin penting dengan tulisan tangan. Dia juga menonton video pembelajaran lewat ponsel pinjaman dari guru. Setiap malam ia menyusun jadwal dan menepatinya dengan disiplin.
“Baca Juga : Kisah Relawan Damkar di Colorado, Berhasil Padamkan Kebakaran Hutan Selama 22 Jam”
Ia mendaftar Fakultas Kedokteran UI lewat jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Tanpa les privat, ia mengandalkan guru sekolah dan latihan soal mandiri. Ia sering berdiskusi dengan teman lewat grup belajar daring. Ia membaca soal tahun-tahun sebelumnya dan menganalisis pola pertanyaan. Semua ia lakukan secara mandiri karena tidak mampu membayar bimbel. Hasilnya, ia dinyatakan lolos dan mendapat kursi di jurusan impian.
Sejak SMP, ia selalu meraih peringkat satu paralel. Ia aktif dalam lomba cerdas cermat dan karya ilmiah remaja. Ia juga menjadi ketua OSIS dan relawan literasi di komunitas lokal. Guru-guru menyebutnya siswa paling tekun dan rendah hati. Nilai rapor sempurna dan surat rekomendasi dari kepala sekolah ikut memperkuat aplikasinya. Ia menulis esai pribadi tentang perjuangan keluarga dan cita-cita menjadi dokter untuk rakyat kecil.
“Simak juga: Hari Bhayangkara ke-79: Polisi Berbagi Sembako”
Setelah pengumuman kelulusan, banyak pihak mulai membantu. Kampus memberi beasiswa UKT penuh. Yayasan pendidikan dan donatur pribadi ikut menyumbang biaya hidup. Alumni UI dari latar serupa juga menghubungi untuk memberi semangat. Ia berencana tinggal di asrama agar fokus belajar. Sekolah membuat acara kecil untuk merayakan pencapaiannya. Keluarga, guru, dan teman ikut hadir dan memberi pelukan bangga.
Ia tidak ingin bekerja di kota besar setelah lulus. Dia bermimpi membangun klinik di daerah terpencil tempat ia dibesarkan. Ia ingin memberi layanan kesehatan gratis untuk keluarga buruh dan petani. Ia juga ingin mengedukasi masyarakat soal kesehatan dasar. Baginya, gelar dokter bukan untuk gengsi, tapi untuk pengabdian. Ia tahu jalan ini panjang, tapi semangatnya tidak pernah surut. Ia percaya, kerja keras akan mengubah masa depan.