GRB Project – UU Cipta Kerja dan ketimpangan perlindungan sosial bagi buruh informal masih jadi perdebatan hangat. Banyak pihak menilai undang-undang ini lebih berpihak pada korporasi besar dan kurang melindungi pekerja sektor informal yang jumlahnya dominan di Indonesia. Padahal buruh informal seperti pedagang kaki lima, buruh tani, hingga tukang bangunan rentan kehilangan pendapatan tanpa jaminan sosial yang layak. Regulasi baru ini dinilai belum memberi keadilan yang nyata untuk mereka.
“Baca Juga : Cara Membangun Komunitas Sehat: Pentingnya Sikap Solidaritas dan Jiwa Sosial Tinggi”
Mayoritas buruh informal belum memiliki akses pada BPJS Ketenagakerjaan atau program jaminan sosial lain. Banyak yang tidak terdaftar karena sistem birokrasi rumit dan biaya iuran terasa berat bagi mereka. Padahal risiko kerja mereka tinggi, mulai dari kecelakaan hingga kehilangan pendapatan tiba-tiba. UU Cipta Kerja memang menyebut inklusi jaminan sosial, tetapi implementasinya di lapangan lambat. Buruh informal tetap harus mencari cara sendiri untuk bertahan jika terkena musibah.
Buruh informal sering mendapat bayaran jauh di bawah upah minimum regional. Bahkan dalam beberapa kasus mereka bekerja harian dengan penghasilan tidak pasti. UU Cipta Kerja memperlonggar aturan upah minimum untuk padat karya yang justru semakin menekan mereka. Karena status hubungan kerja tidak jelas, banyak buruh informal sulit menuntut hak mereka. Perubahan kebijakan ini belum benar-benar memperbaiki nasib para pekerja kecil di sektor non-formal.
“Simak juga: Menghadapi Cyberbullying: Dukungan untuk Anak & Remaja”
UU Cipta Kerja digadang-gadang membuka banyak lapangan kerja formal. Namun kenyataannya, pendidikan dan keterampilan buruh informal tidak selalu sesuai kebutuhan industri. Banyak yang tetap tertinggal karena kurang akses pelatihan dan modal. Padahal tujuan undang-undang ini salah satunya memberi kesempatan kerja lebih luas. Tanpa intervensi serius untuk meningkatkan kapasitas buruh informal, mereka tetap terpinggirkan dari pasar kerja formal.
Salah satu kritik pada UU Cipta Kerja adalah potensi beban pajak bagi pelaku usaha kecil. Aturan baru membuat pedagang kecil lebih mudah dikenai pungutan pajak padahal mereka belum stabil secara ekonomi. Banyak buruh informal takut membuka usaha lebih besar karena khawatir terbebani aturan pajak yang tidak ramah. Hal ini justru bisa mematikan semangat wirausaha kecil yang sebelumnya jadi jalan keluar dari kemiskinan.
Kemudahan perizinan dalam UU Cipta Kerja lebih terasa untuk pengusaha besar. Sedangkan bagi pedagang kecil yang tidak paham aturan birokrasi, perizinan tetap rumit dan mahal. Hal ini menyebabkan buruh informal tetap memilih bekerja tanpa izin karena lebih cepat meski risikonya tinggi. Pemerintah belum menyediakan pendampingan maksimal bagi pelaku usaha mikro supaya ikut legal dan terlindungi.
Alih-alih melindungi pekerja, beberapa aturan baru justru membuat pemutusan hubungan kerja lebih mudah dilakukan oleh pengusaha. Hal ini membuat buruh formal pun berisiko kehilangan pekerjaan dan kembali ke sektor informal. Sementara buruh informal lama tetap tidak kebagian peluang baru. Situasi ini memperlebar ketimpangan antara pekerja yang punya perlindungan dengan mereka yang hanya mengandalkan penghasilan harian.
Buruh informal seringkali tidak tahu apa saja hak mereka karena minim informasi. UU Cipta Kerja pun belum tersosialisasi dengan baik ke pelosok. Tanpa pengetahuan cukup, mereka tidak berani menuntut hak yang seharusnya mereka terima. Banyak yang tetap bekerja dengan kondisi berbahaya tanpa asuransi atau kontrak jelas. Sosialisasi dan edukasi hukum di lapangan jadi faktor penting yang masih diabaikan pemerintah.
Selama pandemi, banyak buruh informal bergantung pada bantuan sosial. Namun data penerima bansos kerap tidak tepat sasaran. Sebagian besar buruh informal yang bekerja serabutan tidak terdata resmi sehingga tidak dapat bantuan. Situasi ini menunjukkan kelemahan sistem pendataan dan lemahnya perlindungan sosial negara. UU Cipta Kerja belum mengatasi masalah ini secara komprehensif karena masih berfokus pada sektor formal.
Pemerintah mendorong peningkatan produktivitas nasional melalui UU Cipta Kerja. Namun mereka lupa bahwa produktivitas butuh buruh yang sehat dan sejahtera. Buruh informal sering dipaksa bekerja berjam-jam tanpa jaminan kesehatan atau upah layak. Produktivitas hanya jadi target angka tanpa memikirkan kualitas hidup pekerja. Buruh informal tetap jadi pihak yang paling menderita dalam sistem ekonomi yang tidak adil.
UU Cipta Kerja bukan akhir dari segalanya. Banyak pihak mendesak revisi pasal-pasal yang merugikan buruh informal. Diperlukan kebijakan yang lebih inklusif dengan pendampingan nyata di lapangan. Buruh informal butuh akses mudah ke jaminan sosial, pelatihan gratis, dan perlindungan hukum. Tanpa itu semua, ketimpangan akan semakin besar. Pemerintah harus segera bergerak supaya buruh informal tidak terus terpinggirkan.