Terkait Program Anak Nakal Dikirim ke Barak Militer, Lebih Baik dari Rehabilitasi Sosial?
GRB Project – Terkait Program Anak Nakal Dikirim ke Barak Militer, Lebih Baik dari Rehabilitasi Sosial?
Program Anak Nakal yang dirancang oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menarik perhatian publik. Ia menyatakan bahwa anak-anak sekolah yang dianggap nakal akan dibina di barak militer. Kebijakan ini, menurutnya, bertujuan untuk memperkuat karakter serta menanamkan nilai nasionalisme bagi generasi muda.
Namun, muncul pro dan kontra atas pendekatan tersebut. Apakah benar barak militer adalah tempat terbaik untuk mendidik siswa yang dianggap bermasalah? Atau, justru rehabilitasi sosial adalah langkah yang lebih tepat untuk membentuk perilaku positif?
“Baca Juga: Daftar Wisata Cagar Budaya Indonesia dan Museum Bersejarah Nasional“
Dalam kunjungannya ke Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Dedi Mulyadi menegaskan niatnya mendidik siswa nakal melalui metode pelatihan militer. Ia menyampaikan bahwa siswa yang berulang kali melakukan pelanggaran berat akan dikirim ke barak. Di sana mereka akan dibina selama enam bulan, tanpa mengikuti kegiatan sekolah formal.
Pihak TNI bahkan disebutkan akan menjemput siswa dari rumah. Ini menimbulkan kekhawatiran dari berbagai kalangan, termasuk Komnas HAM. Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan bahwa TNI tidak memiliki kewenangan dalam memberikan pendidikan kewarganegaraan kepada siswa.
Dikutip dari Kompas.com, kriteria siswa yang dianggap nakal antara lain:
Menurut Kang Dedi, para siswa ini memerlukan pendekatan tegas melalui disiplin militer. Tapi, benarkah solusi itu cocok untuk anak-anak?
Sebagian orang berpendapat bahwa pendekatan militer bukan jawaban utama. Alternatif yang lebih manusiawi adalah rehabilitasi sosial. Pendekatan ini telah lama digunakan dalam menangani pecandu narkoba dan memiliki sistem terintegrasi.
Penulis artikel ini pernah bekerja di Unit Rehabilitasi NAPZA RSKO Jakarta. Dari pengalaman tersebut, terlihat bahwa rehabilitasi sosial bisa membentuk ulang perilaku negatif secara bertahap dan efektif.
Beberapa karakteristik perilaku negatif siswa nakal mirip dengan pecandu:
“Simak Juga: Kegiatan Sosial Komunitas Relawan: Bersosialisasi Lewat Aksi Baik“
Rehabilitasi sosial bekerja melalui tim multidisiplin: dokter jiwa, konselor, psikolog, perawat, hingga pekerja sosial. Program ini menyusun terapi medis, psikososial, dan keterampilan hidup secara terstruktur. Tidak sekadar bangun pagi dan berbaris seperti program militer.
Menurut pengalaman di RSKO Jakarta (2015-2019), perubahan perilaku terjadi jika intervensi dilakukan konsisten, menyeluruh, dan berbasis pendekatan kemanusiaan.
Media seperti GRB Project (grbproject.org) perlu menyuarakan pentingnya pendekatan yang lebih ramah anak. Program Anak Nakal tidak boleh hanya dijadikan komoditas politik atau pencitraan. Proses pembinaan harus berdasarkan riset dan kepentingan jangka panjang generasi muda.
Kritik, masukan, dan pelibatan berbagai pihak harus didengar sebelum program dijalankan secara luas. GRB Project menyebutkan bahwa rehabilitasi sosial lebih sejalan dengan nilai-nilai pembangunan karakter anak.
Program Anak Nakal dengan pendekatan militer menuai kontroversi. Meski tujuannya mulia, metode yang digunakan perlu dikaji lebih dalam. Rehabilitasi sosial terbukti memiliki struktur, pendekatan psikologis, dan nilai kemanusiaan yang lebih sesuai.
Pemerintah daerah seharusnya mempertimbangkan masukan dari lembaga seperti Komnas HAM dan masyarakat sipil. Anak-anak tidak hanya butuh disiplin, tapi juga kasih sayang dan pemahaman untuk bisa berubah.
Sumber: GRB Project (grbproject.org)