GRB Project – Artita, mahasiswi baru Universitas Gadjah Mada (UGM), menjadi perbincangan di kampung halamannya setelah resmi diterima tanpa membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT). Ia berasal dari keluarga dengan ekonomi sulit di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya buruh tani harian, ibunya sudah lama tidak bekerja karena sakit. Meski begitu, semangat belajar Artita tak pernah surut. Ia bangun subuh untuk membantu ibunya, lalu berangkat ke sekolah dengan sepeda tua yang bannya sering kempes. Prestasinya konsisten sejak SMP hingga SMA. Ia selalu masuk tiga besar, aktif di organisasi, dan kerap mewakili sekolah di lomba akademik tingkat kabupaten. Ketika mendaftar UGM lewat jalur SNBP, ia juga mengajukan keringanan biaya UKT. Tak disangka, pengajuan itu dikabulkan sepenuhnya. Ia dinyatakan bebas UKT selama masa studi. Keputusan itu membuat banyak warga kampung terharu. Bagi Artita, ini bukan hanya kemenangan pribadi, melainkan bukti bahwa pendidikan tinggi bisa diakses siapa saja.
“Baca Juga : Manfaat Kegiatan Komunitas Sosial Bagi Kesehatan Mental dan Perilaku”
Artita, mahasiswi baru Universitas Gadjah Mada (UGM), masuk lewat jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Ia mempersiapkan diri selama berbulan-bulan, belajar tanpa les dan hanya mengandalkan buku perpustakaan. Nilai rapornya konsisten tinggi, terutama di pelajaran Matematika dan Biologi. Ia juga aktif di kegiatan OSIS dan kelompok belajar. Semua aktivitas itu dicatat rapi dalam portofolio untuk mendukung seleksi. Saat pendaftaran dibuka, guru-guru membantu mengunggah dokumen karena koneksi internet di rumahnya tidak stabil. Ia mengisi formulir bantuan UKT dengan jujur dan menyertakan surat keterangan tidak mampu dari desa. Proses itu dilakukan dengan penuh harap. Saat pengumuman keluar, ia tidak hanya diterima di jurusan Kedokteran Hewan, tetapi juga dinyatakan bebas dari seluruh biaya UKT. Kebahagiaan itu langsung disambut doa bersama oleh keluarganya.
Meski tinggal di rumah bambu sederhana, Artita tidak pernah merasa minder. Ia justru menjadikan kondisi itu sebagai motivasi untuk belajar lebih keras. Ayahnya selalu menyemangatinya setiap pagi, meski harus berangkat ke ladang tanpa sarapan. Ibunya, meski sering sakit, tetap mendampingi Artita belajar di malam hari. Mereka tidak punya televisi, sehingga rumah selalu tenang untuk belajar. Kadang, Artita harus menyalin ulang materi pelajaran karena buku pinjamannya sudah lusuh. Ia terbiasa mengulang pelajaran dengan membaca keras-keras agar lebih paham. Saat nilai ujiannya terus naik, guru-guru di sekolah ikut memberi semangat. Mereka yakin, anak seperti Artita harus mendapatkan kesempatan kuliah. Ketekunan itu dibayar lunas dengan diterimanya ia di kampus impian.
“Simak juga: DPRD Perindo Ulurkan Tangan untuk Balita Manggarai Timur”
Kabar bahwa Artita diterima di UGM tanpa biaya kuliah menyebar cepat. Guru-guru mengumumkannya di halaman sekolah saat upacara. Murid-murid bersorak bangga. Kepala sekolah bahkan mengajak semua siswa untuk menjadikan Artita sebagai contoh. Di kampungnya, warga berkumpul di rumah Artita malam itu. Mereka membawa makanan sederhana sebagai tanda syukur. Banyak yang terharu melihat perjuangan panjangnya membuahkan hasil. Bahkan beberapa tetangga ikut menyumbang uang untuk keperluan keberangkatan ke Yogyakarta. Dukungan itu menjadi bukti bahwa keberhasilan seseorang bisa mengangkat semangat seluruh komunitas. Bagi mereka, Artita bukan hanya anak pintar, tapi simbol harapan baru.
Meskipun terbebas dari UKT, Artita tetap menghadapi tantangan finansial. Biaya hidup di Yogyakarta tentu lebih tinggi dibanding desanya. Ia mulai mencari informasi beasiswa lain, termasuk bantuan tempat tinggal dan subsidi makanan. Ia juga tertarik mengikuti program kerja paruh waktu di lingkungan kampus. Artita tahu bahwa perjuangan belum selesai. Ia sedang belajar mengatur keuangan, beradaptasi dengan lingkungan baru, dan menjaga fokus akademik. Namun, ia tetap tenang dan yakin bisa menjalani semua itu. Dengan pengalaman bertahan di tengah kesulitan, ia merasa siap menghadapi tantangan apapun. Semangat itu membuatnya makin dihormati, baik oleh teman maupun dosen barunya.
Kisah Artita menjadi bahan cerita motivasi di banyak sekolah menengah. Guru-guru menggunakan ceritanya untuk membuktikan bahwa masuk universitas negeri tanpa biaya itu mungkin. Artita sendiri beberapa kali diundang ke sekolah asalnya untuk berbagi pengalaman. Ia menyampaikan bahwa kunci utama bukan uang, tetapi ketekunan dan kejujuran dalam proses. Ia mendorong adik-adik kelasnya untuk terus belajar dan tidak putus harapan walau kondisi terbatas. Bagi Artita, masuk UGM bukan akhir perjuangan, tapi awal tanggung jawab baru. Ia bertekad untuk lulus tepat waktu dan kembali ke desanya sebagai dokter hewan yang bisa membantu petani setempat.