GRB Project – Pertemuan antarbudaya bukan sekadar soal pertukaran seni dan bahasa, tetapi juga tentang mempererat nilai-nilai kemanusiaan. Kegiatan Humanitarian Cultural Exchange yang digelar di Makassar menjadi panggung unik untuk memperkuat hal tersebut. Ketua Permabudhi Sulawesi Selatan, H. Harnoto Tanuwijaya, menjadi tokoh sentral yang menekankan pentingnya penguatan solidaritas melalui kegiatan budaya lintas keyakinan dan bangsa. Acara ini mendapat sambutan positif dari komunitas lintas agama dan lembaga sosial.
Kegiatan ini dirancang sebagai platform pertemuan antarbudaya yang sarat pesan kemanusiaan. Acara menghadirkan pertunjukan seni, diskusi antaragama, dan forum kerja sama sosial. Dalam satu hari, para peserta menikmati tarian daerah, lantunan musik tradisional, dan sajian kuliner dari berbagai etnis. Selain itu, forum ini juga mengangkat topik pengungsi, hak perempuan, serta tantangan perdamaian dunia. Gabungan antara nilai budaya dan kemanusiaan ini menjadi inti kegiatan.
“Baca Juga : Misi Kemanusiaan Relawan Dalam Kegiatan Sosial dan Pelestarian Lingkungan Bersih”
Dalam pidatonya, Harnoto menyatakan bahwa kemanusiaan adalah nilai yang lebih tinggi dari segala perbedaan. Menurutnya, kegiatan budaya seharusnya tidak hanya menjadi ajang hiburan. Ia menekankan pentingnya budaya sebagai instrumen untuk menyampaikan nilai empati, kasih sayang, dan toleransi. Harnoto juga menyampaikan bahwa perbedaan agama bukan alasan untuk abai terhadap penderitaan sesama manusia.
Acara ini juga diikuti berbagai komunitas lintas agama seperti umat Buddha, Islam, Kristen, Hindu, dan Konghucu. Mereka terlibat aktif dalam sesi dialog serta pengumpulan donasi untuk korban bencana. Perwakilan komunitas Islam bahkan menginisiasi doa lintas iman untuk perdamaian global. Kolaborasi semacam ini menjadi contoh nyata bahwa kemanusiaan bisa menjadi titik temu di tengah keberagaman spiritual.
“Simak juga: Titiek Puspa Tinggalkan Warisan Nasihat Hidup untuk Putrinya”
Salah satu daya tarik kegiatan humanitarian cultural exchange ini adalah keterlibatan pelajar dan mahasiswa dari berbagai kampus. Mereka hadir tidak hanya sebagai peserta, tapi juga pengisi acara dan penggagas diskusi. Mahasiswa dari Universitas Hasanuddin mempresentasikan riset mereka tentang budaya toleransi di kawasan Asia Tenggara. Generasi muda dianggap sebagai agen penting dalam menjaga keberlanjutan nilai-nilai kemanusiaan di masa mendatang.
Selain pertunjukan budaya, acara ini juga menggelar kegiatan sosial seperti penggalangan dana dan pembagian sembako. Dana yang terkumpul akan disalurkan ke korban bencana di Sulawesi Tengah dan pengungsi Rohingya di Bangladesh. Panitia bekerja sama dengan lembaga kemanusiaan lokal dan internasional untuk memastikan bantuan diterima dengan tepat. Aktivitas ini memperkuat esensi bahwa budaya dan aksi nyata harus berjalan beriringan.
Sejumlah tokoh agama turut menyampaikan pesan damai di forum terbuka. Mereka menyuarakan pentingnya menghentikan diskriminasi atas nama agama dan etnis. Aktivis kemanusiaan dari LSM lokal juga menyoroti ketidakadilan struktural yang masih melanda kawasan Asia. Semua pesan tersebut diterima dengan antusias oleh peserta dan terekam dalam dokumentasi video yang akan dibagikan ke sekolah-sekolah dan komunitas budaya.
Permabudhi Sulawesi Selatan memiliki rencana lanjutan pasca acara ini. Mereka akan mengadakan pelatihan fasilitator budaya untuk guru dan penyuluh agama. Selain itu, mereka juga merancang modul pembelajaran berbasis nilai kemanusiaan yang akan diterapkan di sekolah-sekolah binaan. Tujuannya adalah menciptakan generasi baru yang terbiasa hidup dalam harmoni serta peka terhadap penderitaan sesama.
Dipilihnya Makassar sebagai lokasi kegiatan bukan tanpa alasan. Kota ini dikenal sebagai kota pelabuhan dengan sejarah panjang pertemuan budaya. Dari dulu, Makassar telah menjadi rumah bagi berbagai etnis, suku, dan agama. Karena itu, lokasi ini dianggap ideal untuk menyampaikan pesan tentang pentingnya hidup berdampingan. Pemkot Makassar pun mendukung penuh acara ini sebagai bagian dari promosi kota damai.
Meskipun berlangsung lancar, kegiatan ini tidak lepas dari tantangan. Beberapa kelompok konservatif sempat menolak agenda lintas agama. Namun, melalui pendekatan dialog dan edukasi, panitia berhasil menjembatani kesalahpahaman tersebut. Harnoto berharap kegiatan semacam ini bisa menjadi agenda rutin nasional. Ia juga membuka peluang kerja sama dengan lembaga dari luar negeri yang memiliki visi serupa.