
GRB Project – Di balik setiap berita hukum tentang remaja, ada kisah yang jarang terlihat. Sebuah cerita sunyi tentang seorang anak yang mungkin masih menyimpan boneka di lemari, tetapi harus mengenakan seragam tahanan dan duduk di ruang sidang. Ketika dunia berjalan cepat dan penuh tekanan, ada gadis-gadis muda yang terseret arus tanpa pernah diberi kesempatan untuk memahami pilihan hidup dengan benar. Mereka tidak hanya membawa kasus hukum, tetapi juga luka batin, masa kecil yang terganggu, dan harapan akan jalan pulang yang lebih manusiawi. Karena itu, reformasi terhadap pendekatan hukum yang melibatkan sistem peradilan anak perempuan menjadi kebutuhan mendesak. Bukan sekadar agar adil, tetapi juga agar kemanusiaan tetap menjadi inti keadilan.
Dalam banyak kasus, mereka bukan kriminal yang lahir dari niat jahat, tetapi korban keadaan yang panjang. Beberapa pernah menjadi korban kekerasan di rumah, perdagangan manusia, atau eksploitasi seksual. Sebagian lain tumbuh tanpa perlindungan emosional, tanpa kesempatan belajar, atau berada di lingkungan yang keras. Ketika akhirnya terjebak dalam struktur hukum yang kaku, mereka tidak hanya kehilangan masa depan, tetapi juga kehilangan rasa percaya pada negara dan masyarakat. Disinilah urgensi sistem peradilan anak perempuan yang berperspektif pemulihan, bukan sekadar penghukuman, menjadi semakin nyata.
Statistik sering terlihat dingin. Namun di balik setiap angka, ada seorang anak perempuan yang mungkin masih mengingat tawa di sekolah dasar atau cita-cita sederhana menjadi seorang perawat. Ketika kita membaca grafik atau laporan tahunan, mudah melupakan wajah dan getaran emosional yang tersembunyi di balik data itu. Karena itu, pendekatan kebijakan publik harus melihat jauh lebih dalam dari sekadar angka pidana. Dalam konteks sistem peradilan anak perempuan, terdapat kenyataan bahwa banyak dari mereka mendorong diri bertahan di dunia yang tidak ramah sejak usia terlalu dini.
Selain itu, ketimpangan gender dan kurangnya akses pendidikan membuat mereka lebih rentan. Dalam banyak kasus global, ada pola serupa: tekanan ekonomi, relasi kekuasaan yang tidak adil, dan kurangnya dukungan sosial. Ketika semua itu berlapis, anak perempuan bisa masuk ke situasi yang tidak pernah mereka bayangkan. Oleh sebab itu, sistem peradilan anak perempuan harus memahami struktur sosial yang melahirkan risiko, bukan hanya struktur hukum yang memberi hukuman.
Baca Juga : Trump dan Xi Jinping Bertemu di Korsel, Intip Hasil Negosiasi Lengkapnya
Sering kali, tindakan anak perempuan dalam kasus hukum berkaitan dengan upaya bertahan hidup. Bagi sebagian, pelanggaran hukum adalah hasil situasi tanpa pilihan, bukan pemberontakan moral. Misalnya, anak yang kabur dari rumah karena kekerasan lalu terlibat pelanggaran kecil di jalanan. Pada banyak kasus lain, mereka berhadapan dengan eksploitasi seksual dan kemudian masuk proses hukum sebagai pelaku, bukan penyintas. Karena itu, sistem peradilan anak perempuan perlu menyadari titik awal persoalan adalah trauma, bukan kriminalitas bawaan.
Trauma yang tidak ditangani akan melukai masa depan seseorang. Oleh sebab itu, dalam setiap proses penegakan hukum, konseling, rehabilitasi psikologis, dan pendekatan pemulihan emosional menjadi penting. Pendekatan ini memastikan bahwa sistem peradilan anak perempuan tidak memutus siklus kehidupan, melainkan membuka jalan pemulihan.
Berkali-kali kita mendengar istilah keadilan restoratif. Namun sering kali masyarakat belum memahami maknanya. Ini bukan tentang membela pelanggaran, melainkan mengajak melihat kesalahan sebagai kesempatan belajar. Dalam sistem peradilan anak perempuan, model restoratif adalah pendekatan yang memulihkan hubungan antara anak, keluarga, dan lingkungan sosial. Alih-alih menempatkan mereka di balik jeruji, proses ini mengarahkan pada dialog, pendampingan, dan perbaikan diri.
Pengadilan anak yang berperspektif restoratif memberikan ruang bagi refleksi. Anak belajar memahami dampak tindakannya, dan masyarakat diajak memberi kesempatan kedua. Bahkan, banyak tenaga ahli psikologi dan sosial kini menyebut pendekatan ini lebih efektif mencegah pelanggaran di masa depan dibanding hukuman tradisional. Dengan demikian, sistem peradilan anak perempuan dapat menjalankan fungsi keadilan yang bukan sekadar menghentikan kasus, tetapi membangun masa depan.
Diversi merupakan instrumen hukum yang memungkinkan penyelesaian kasus di luar pengadilan bagi anak. Ini penting, terutama ketika mempertimbangkan kebutuhan emosional dan psikologis mereka. Dalam kebijakan anak, diversi menjadi fondasi yang menunjukkan bahwa negara memahami pentingnya kesempatan kedua. Dalam sistem peradilan anak perempuan, diversi menegaskan bahwa penanganan anak tidak boleh sama dengan orang dewasa.
Selain itu, diversi membantu mencegah anak kehilangan akses pendidikan. Banyak anak yang jika langsung masuk proses pidana, berhenti sekolah dan tidak bisa kembali. Namun dengan diversi, mereka tetap memiliki kesempatan belajar dan menjadi bagian dari masyarakat lagi. Pendekatan ini sekaligus menguatkan konsep sistem peradilan anak perempuan yang lebih bijak, tidak reaktif, dan berorientasi pemulihan jangka panjang.
Penting untuk diingat bahwa anak perempuan lebih rentan mengalami trauma psikologis. Emosi mereka, terutama pada usia remaja, sangat sensitif terhadap tekanan sosial dan pengalaman buruk. Maka dari itu, reformasi hukum perlu memperkuat layanan konseling, rehabilitasi trauma, dan dukungan sosial. Dengan cara ini, sistem peradilan anak perempuan dapat benar-benar menjalankan fungsi pelindung, bukan sekadar administratif.
Program pendampingan juga harus melibatkan keluarga. Banyak anak tidak kembali ke jalur positif bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena dukungan emosional tidak tersedia. Oleh sebab itu, reformasi kebijakan publik harus memastikan bahwa pendampingan anak diiringi dukungan keluarga dan komunitas.
Proses hukum mungkin selesai di ruang sidang, tetapi proses kehidupan baru dimulai setelah itu. Reintegrasi sosial adalah tahapan yang menentukan apakah anak akan kembali tumbuh dengan sehat atau jatuh lagi dalam lingkaran masalah. Maka dari itu, masyarakat memiliki peran penting. Stigma sosial adalah musuh terbesar pemulihan. Ketika anak kembali ke lingkungan yang menghakimi, luka mereka akan membesar.
Karena itu, edukasi publik diperlukan untuk mengurangi stereotip negatif. Sistem peradilan anak perempuan tidak akan berhasil tanpa dukungan masyarakat. Ketika publik memahami bahwa mereka adalah anak yang membutuhkan bimbingan, bukan cemoohan, maka peluang pemulihan lebih besar.
Pada akhirnya, inti dari keadilan bukan hanya menghukum, tetapi memberi harapan pada mereka yang tersandung. Anak perempuan yang memasuki sistem hukum tidak boleh kehilangan jalan pulang. Mereka berhak mendapatkan kesempatan memulihkan diri, tumbuh kembali, dan melihat dunia dari sudut lebih terang. Selama sistem peradilan anak perempuan terus diarahkan menuju pendekatan HAM, restoratif, dan empatik, kita akan melihat perubahan nyata dalam kualitas kehidupan generasi muda perempuan.
Setiap anak memiliki cahaya. Bahkan jika cahaya itu sempat meredup, tugas kita adalah membantu menyalakannya kembali. Harapan besar terletak pada kebijakan, pendampingan, dan kemauan kita untuk melihat mereka sebagai manusia yang masih belajar mengenal dunia.