Ilustrasi Konsep Penghapusan Kolom Agama di KTP
GRB Project – Konsep Penghapusan Kolom Agama di KTP, di Tolak Ketua MK
Permohonan untuk menghapus kolom agama di KTP kembali kandas di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa konsep kebebasan beragama yang diterapkan di Indonesia bukanlah kebebasan yang memberi ruang bagi warga negara untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Keputusan ini menuai berbagai respons dari masyarakat, mengingat isu ini menyangkut hak asasi manusia dan keberagaman.
“Baca Juga: Komunitas Indorelawan Berjuang Menciptakan Perubahan Sosial“
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam suku, bangsa, dan agama memiliki hak yang dijamin konstitusi untuk memeluk agama atau keyakinan. Meski demikian, perlindungan terhadap hak ini dianggap belum sepenuhnya terpenuhi. Kelompok masyarakat tertentu, seperti yang tidak memeluk agama (ateis), merasa dirugikan secara konstitusional. Untuk memperjuangkan hak mereka, Raymond Kamil dan Indra Syahputra mengajukan uji materi terhadap beberapa pasal dalam undang-undang terkait.
Pasal-pasal yang diajukan untuk diuji antara lain:
Sayangnya, MK tidak mengabulkan seluruh pokok permohonan tersebut. Dalam amar putusannya, Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, tetapi pokok permohonan dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan bahwa Indonesia adalah bangsa yang beragama, sebagaimana tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945. Norma yang mewajibkan pencantuman agama atau kepercayaan di KTP bertujuan untuk memfasilitasi dan memperkuat karakter bangsa sebagai bangsa yang beragama.
Menurut MK, pembatasan ini merupakan hal yang proporsional dan sesuai dengan amanat konstitusi. Negara tidak memberlakukan pembatasan ini secara opresif atau sewenang-wenang. Setiap warga negara hanya diwajibkan mencantumkan agama atau kepercayaannya dalam dokumen administrasi kependudukan tanpa adanya kewajiban hukum lain terkait hal tersebut.
Lebih lanjut, MK menyebutkan bahwa tidak memeluk agama atau tidak menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dianggap sebagai bagian dari kebebasan beragama. Sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016, kebebasan beragama di Indonesia memiliki batasan yang diatur oleh nilai-nilai dasar Pancasila dan konstitusi.
“Simak Juga: Cerita Inspiratif Relawan yang Berkontribusi Dalam Menciptakan Perubahan Positif“
Raymond Kamil dan Indra Syahputra menyampaikan bahwa tujuan utama mereka adalah memastikan bahwa hak konstitusional setiap warga negara dihormati, termasuk hak untuk memilih tidak memeluk agama. Namun, MK menilai keinginan ini bertentangan dengan prinsip dasar negara yang menempatkan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai bagian integral dari kehidupan berbangsa.
Selain itu, MK juga menolak permohonan terkait pendidikan agama. MK menegaskan bahwa pendidikan agama harus dimaknai sebagai pengajaran tentang agama dan kepercayaan secara umum, termasuk adat istiadat yang relevan. Usulan pemohon agar pendidikan agama bersifat opsional atau dikecualikan dinilai tidak sesuai dengan amanat undang-undang.
Keputusan ini kembali menegaskan posisi MK bahwa norma hukum di Indonesia dirancang untuk mendukung karakter bangsa yang beragama. Meski begitu, diskursus mengenai kebebasan beragama di Indonesia tetap menjadi topik penting yang memerlukan perhatian semua pihak.
GRB Project atau grbproject.org melaporkan bahwa isu ini mencerminkan tantangan dalam mewujudkan kebebasan beragama yang inklusif di Indonesia. Sebagai media yang fokus pada isu-isu sosial, GRB Project mencatat pentingnya dialog yang konstruktif antara berbagai pihak untuk mencapai solusi yang adil dan berimbang.