GRB Project – Anyaman tikar pandan menjadi pemandangan khas di sebuah desa kecil di Lombok, saat suara tawa ibu-ibu riuh di bawah bale-bale bambu menemani tangan-tangan cekatan mereka. Aktivitas ini bukan sekadar rutinitas untuk menghasilkan kerajinan, melainkan juga sarana mempererat kebersamaan sekaligus mempertahankan budaya lokal yang sudah diwariskan turun-temurun. Suasana yang hangat membuat siapa saja yang melihat terpikat, sementara proses anyaman terus berlangsung tanpa henti. Selain itu, kegiatan ini telah memberi manfaat nyata bagi perekonomian keluarga, karena hasil anyaman banyak diminati wisatawan maupun pedagang dari luar daerah.
“Baca Juga : Kegiatan Komunitas Relawan Konser Musik Mecima, Galang Dana Undang Artis Internasional”
Anyaman tikar pandan tidak hanya berfungsi sebagai alas lantai, tetapi juga menjadi simbol identitas masyarakat Lombok. Motif-motif geometris yang rumit hingga pola sederhana diwariskan dari nenek moyang dan tetap dijaga keasliannya. Oleh karena itu, para ibu selalu berusaha menanamkan rasa bangga pada generasi muda agar tidak melupakan kearifan lokal ini. Dengan cara itu pula, tradisi tetap hidup di tengah arus modernisasi yang terus berkembang.
Para perempuan desa memegang peranan penting dalam menjaga kelestarian kerajinan tikar pandan. Mereka saling mendukung, berbagi teknik baru, dan memastikan kualitas produk tetap terjaga. Dengan begitu, hasil anyaman mereka lebih mudah bersaing di pasar lokal maupun nasional. Bahkan, sebagian ibu juga menjadi pelatih bagi kelompok-kelompok baru yang ingin belajar. Hal ini menunjukkan bahwa solidaritas perempuan menjadi pilar utama keberlangsungan tradisi ini.
“Simak juga: Kebijakan Pajak Baru: Dampaknya bagi UMKM & Konsumen”
Pendapatan tambahan dari penjualan tikar pandan telah membantu keluarga memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagian hasil penjualan bahkan digunakan untuk biaya pendidikan anak-anak atau perbaikan rumah. Dengan adanya permintaan stabil dari wisatawan dan toko suvenir, masyarakat semakin termotivasi untuk meningkatkan produksi sambil tetap menjaga kualitas. Oleh sebab itu, banyak keluarga mulai menanam sendiri tanaman pandan agar pasokan bahan baku tidak terganggu.
Selain menghasilkan uang, kegiatan menganyam juga menjadi sarana pendidikan informal bagi remaja perempuan. Mereka diajari mengenal tanaman pandan, memetik, hingga mengolahnya menjadi serat yang siap dianyam. Proses panjang ini mengajarkan kesabaran, ketelitian, dan tanggung jawab. Selain itu, interaksi antar-generasi membuat ikatan keluarga semakin erat dan harmonis.
Banyak wisatawan domestik maupun mancanegara tertarik ikut belajar menganyam ketika berkunjung. Mereka biasanya duduk bersama ibu-ibu sambil mencoba membuat pola sederhana. Interaksi ini memperkaya pengalaman liburan mereka sekaligus memperkenalkan budaya Lombok ke dunia luar. Dengan demikian, desa semakin dikenal sebagai salah satu tujuan wisata budaya yang unik.
Meskipun masih banyak dijual di pasar tradisional, kini tikar pandan juga dipasarkan secara online melalui media sosial dan platform e-commerce. Cara ini membuat kerajinan desa dikenal lebih luas dan memperluas jangkauan pasar. Beberapa bahkan sudah diekspor ke luar negeri sebagai produk etnik yang memiliki nilai seni tinggi. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan teknologi dapat berjalan beriringan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keberhasilan ibu-ibu Lombok dalam menjaga tradisi sambil memberdayakan ekonomi keluarga memberi inspirasi bagi banyak daerah lain. Gotong royong mereka dalam berbagi ilmu, saling membantu, dan menjaga kebersamaan patut ditiru. Banyak pihak berharap semangat seperti ini terus dijaga agar budaya lokal tetap hidup di tengah perkembangan zaman.