Kasus Pelecehan Seksual Dokter Priguna Masuk Kategori Pelanggaran HAM Berat
GRB Project – Kasus Pelecehan Seksual Dokter Priguna Dianggap Pelanggaran HAM Berat
Kasus pelecehan seksual yang melibatkan dokter residen di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung mengguncang publik. Tersangka bernama Priguna Anugerah P (31), merupakan dokter dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenham) memberikan perhatian serius terhadap kasus ini. Tindakan Priguna dinilai tidak hanya melanggar etika profesi, tetapi juga berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Menurut Kepala Kanwil Kemenham Jawa Barat, Hasbullah Fudail, hak pasien untuk mendapatkan rasa aman saat menjalani perawatan harus dijamin. Dalam peristiwa ini, hak tersebut telah dirampas.
Kemenham Jawa Barat akan segera mengambil sejumlah langkah untuk menindaklanjuti kasus ini. Mereka akan meminta keterangan dari pihak RSHS Bandung, Universitas Padjadjaran, serta pihak kepolisian.
Pemerintah juga berkomitmen menggali informasi dari korban, keluarga korban, hingga tersangka. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa semua proses berjalan transparan dan adil.
Langkah ini menjadi bagian dari upaya penghormatan dan penegakan HAM yang tercantum dalam amanat Undang-Undang. Perlindungan terhadap pasien di rumah sakit menjadi tanggung jawab bersama, terutama pemerintah.
“Baca Juga: Tips Mengangkat Nilai Budaya Tradisional Indonesia ke Dunia Internasional“
Kejadian ini terjadi pada 18 Maret 2025 di Gedung Maternal & Child Health Center (MCHC) lantai 7 RSHS Bandung. Korban merupakan anak dari pasien yang sedang dirawat di rumah sakit tersebut.
Priguna menggunakan modus pemeriksaan darah sebagai dalih untuk membawa korban ke ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD). Di ruang itu, ia meminta korban mengganti pakaian dengan baju operasi.
Setelah korban mengganti pakaiannya, Priguna memasukkan jarum ke tangan korban sebanyak 15 kali. Ia lalu menghubungkan jarum itu ke selang infus dan menyuntikkan cairan bening.
Korban merasa pusing dan akhirnya tidak sadarkan diri. Ketika sadar, korban mendapati waktu sudah menunjukkan pukul 04.00 WIB.
Setelah melaporkan kejadian ke polisi, Priguna ditangkap di apartemennya pada 25 Maret 2025. Ia merupakan warga Pontianak yang kini tinggal di Bandung dan diketahui telah menikah.
Pihak kepolisian menemukan sejumlah barang bukti dari penangkapan tersebut. Di antaranya adalah dua infus lengkap, tujuh buah suntikan, dua sarung tangan, dua belas jarum suntik, satu kondom, dan beberapa obat-obatan.
Menurut Kombes Pol Hendra Rochmawan, tersangka menyuntikkan cairan bening sebelum korban kehilangan kesadaran. Hal ini memperkuat dugaan bahwa kejahatan dilakukan dengan perencanaan.
Kombes Pol Surawan dari Ditreskrimum Polda Jabar menyampaikan bahwa tersangka diduga mengalami kelainan seksual. Namun, untuk memastikannya, pemeriksaan lanjutan dari ahli psikologi dan forensik masih berlangsung.
Hasil pemeriksaan ini akan menjadi pertimbangan tambahan dalam proses hukum yang tengah berjalan. Jika terbukti memiliki kelainan, maka proses hukum tetap berlanjut dengan pendekatan sesuai hukum yang berlaku.
GRB Project melalui situs resminya, grbproject.org, turut menyoroti kasus ini. Mereka menilai bahwa penanganan kasus pelecehan seksual harus transparan dan berpihak pada korban.
“Simak Juga: Implementasi Komunitas Sosial: Visi Misi Menjadi Relawan dan Program Kegiatan Sukarelawan“
Priguna kini mendekam di balik jeruji besi. Ia dijerat Pasal 6 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Ancaman hukuman maksimal dalam pasal ini mencapai 12 tahun penjara.
Proses hukum yang transparan dan akuntabel sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik. GRB Project menilai bahwa kejahatan seksual, terutama yang terjadi di fasilitas kesehatan, harus mendapatkan hukuman berat.
Selain sebagai upaya keadilan, penindakan tegas ini dapat menjadi efek jera bagi pelaku lainnya di masa depan.
Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa rumah sakit harus menjadi tempat aman bagi semua pihak. Tidak boleh ada celah sedikit pun bagi pelaku kekerasan seksual, apalagi jika pelaku adalah tenaga medis.
Kementerian dan lembaga terkait harus memperkuat sistem pengawasan dan pelaporan. Setiap tindakan mencurigakan harus cepat ditindaklanjuti, demi menjaga martabat dan hak korban.
Menurut GRB Project, kasus seperti ini bisa menjadi momentum perbaikan sistem di rumah sakit dan institusi pendidikan kedokteran. Pendidikan karakter dan etika profesi harus menjadi bagian penting dari kurikulum.
Penutup
Kasus pelecehan seksual dokter di RSHS Bandung telah membuka mata banyak pihak. Ini bukan hanya tentang pelanggaran etika, tapi juga pelanggaran berat terhadap HAM. Dengan keterlibatan aktif berbagai pihak termasuk GRB Project, diharapkan proses hukum dapat berjalan adil serta memberikan perlindungan maksimal kepada korban dan masyarakat.