GRB Project – Kasus Kekerasan Anak Angkat di Papua, Komnas HAM Lakukan Pendampingan Khusus
Kasus kekerasan terhadap seorang anak angkat di Papua baru-baru ini menyita perhatian publik. Anak berinisial AS, yang baru berusia lima tahun, mengalami kekerasan di sebuah indekos di Kota Jayapura, Papua. Lokasi kejadian berada di Gang Soter, Perum Organda, Padang Bulan. Kasus ini dilaporkan ke Polresta Kota Jayapura pada Jumat (3/1/2024).
Ketua Komnas HAM Papua, Frits Ramandey, mengungkapkan bahwa peristiwa ini memenuhi unsur penyiksaan. Pernyataan ini disampaikan setelah Komnas HAM Papua melakukan pemantauan langsung terhadap korban di Rumah Sakit Bhayangkara, Jayapura, pada Senin malam (6/1/2024). “Kami sudah melakukan pemantauan, dan memang kasus ini memenuhi unsur penganiayaan berat,” ungkap Frits.
“Baca Juga: Musik Orgen Remix Lampung jadi Tradisi di Setiap Acara Hajatan Pernikahan“
Dua orangtua angkat korban, NS (36) dan JY (36), diduga menjadi pelaku dalam kasus ini. Menurut pengakuan NS yang ditahan di Mapolresta Kota Jayapura, kekerasan terhadap AS dilakukan secara berulang-ulang dalam kurun waktu yang panjang.
Yang lebih mengejutkan, NS mengakui perbuatannya dilakukan dalam keadaan sadar tanpa pengaruh alkohol atau obat-obatan. Ia mengklaim kekerasan tersebut adalah bentuk kedisiplinan terhadap korban. Namun, bagi Komnas HAM Papua, alasan ini sama sekali tidak dapat diterima.
“Alasannya sangat tidak masuk akal. Sebagai contoh, tersangka melakukan penganiayaan hanya karena masalah sepele, seperti korban yang dituduh melempar anak kandung tersangka,” jelas Frits.
Komnas HAM Papua menilai bahwa perbuatan ini tidak hanya melanggar hak asasi anak, tetapi juga memberikan dampak psikologis yang berat bagi korban. Oleh karena itu, proses hukum terhadap kasus ini harus ditegakkan seadil-adilnya.
Kasus kekerasan terhadap AS menjadi perhatian serius bagi Komnas HAM Papua. Selain memantau kondisi korban, Frits dan timnya juga memberikan dukungan untuk membantu memulihkan trauma yang dialami korban.
Sebagai langkah awal, Komnas HAM memberikan sekardus mainan kepada AS. “Kami berharap mainan ini bisa memberikan keceriaan dan sedikit meringankan beban mental korban,” kata Frits. Langkah ini diharapkan menjadi awal pemulihan bagi korban, yang masih dalam usia sangat muda.
Selain itu, Komnas HAM berencana memastikan bahwa proses hukum berjalan lancar tanpa hambatan. “Proses hukum adalah pilihan terbaik agar kasus ini menjadi pelajaran bagi masyarakat untuk tidak melakukan kekerasan terhadap anak,” tegas Frits.
Pentingnya publikasi kasus seperti ini menjadi perhatian Komnas HAM. Menurut Frits, pemberitaan yang luas dapat memberikan efek jera sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat.
Portal berita seperti GRB Project (grbproject.org) juga berperan penting dalam menyampaikan informasi secara akurat. Media memiliki tanggung jawab untuk mendokumentasikan dan menyuarakan keadilan bagi korban. Dengan demikian, masyarakat lebih teredukasi untuk menghentikan praktik kekerasan terhadap anak.
“Simak Juga: Kisah Inspiratif Driver Ojol Gojek: Pak Anwar Pelihara 68 ekor Kucing“
Kasus ini menyoroti perlunya penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku kekerasan. Tindakan seperti ini tidak boleh dianggap remeh karena menyangkut hak dasar anak. Anak-anak adalah generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan.
Komnas HAM mengimbau masyarakat untuk berperan aktif dalam melaporkan tindakan kekerasan. “Tidak ada alasan untuk diam ketika melihat kekerasan terjadi, apalagi terhadap anak-anak,” ujar Frits.
Kasus kekerasan terhadap anak angkat di Papua mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga hak asasi anak. Dengan langkah hukum yang tegas, dukungan dari lembaga seperti Komnas HAM, serta peran media seperti GRB Project, keadilan untuk korban dapat terwujud.
Semoga kasus ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak agar kekerasan terhadap anak dapat dihentikan sepenuhnya. Anak-anak berhak tumbuh dalam lingkungan yang aman dan penuh kasih sayang.