GRB Project – Pembahasan soal isu perempuan dan anak sudah sering dibahas, tapi kenyataannya belum banyak yang bergerak nyata. Padahal, perempuan dan anak termasuk kelompok paling rentan terhadap diskriminasi, kekerasan, dan pengabaian. Bukan cuma soal edukasi, tapi perlu gerakan nyata yang menyentuh langsung kehidupan mereka. Nggak cukup hanya viral di media sosial. Butuh aksi yang konkret dan berkelanjutan.
“Baca Juga : Cerita Pengalaman Relawan Volunteer Masak Besar Bareng Bobon Santoso”
Fakta di lapangan masih menyedihkan. Kekerasan dalam isu perempuan & anak, eksploitasi anak, pernikahan dini, hingga pelecehan seksual masih marak terjadi. Banyak korban nggak berani bicara karena takut, malu, atau nggak tahu harus ke mana. Sistem perlindungan yang ada belum sepenuhnya ramah. Ini bukti kalau bicara soal isu ini nggak boleh setengah hati. Harus ada sistem dukungan yang aktif dan responsif.
Jangan anggap topik ini terlalu “berat” untuk dibahas di publik. Justru harus dibawa ke ruang-ruang terbuka: sekolah, komunitas, tempat ibadah, media sosial. Edukasi soal kesetaraan gender dan hak anak harus terus digaungkan. Lewat bahasa yang sederhana, visual yang menarik, dan cara yang relate. Semakin sering dibahas, makin terbuka peluang perubahan.
“Simak juga: Gerakan Sosial Digital: Aktivis Muda Manfaatkan Media untuk Edukasi”
Banyak perempuan dan anak nggak berani lapor karena nggak merasa aman. Maka, bukan cuma menyuruh “berani bicara”, tapi harus disediakan ruang yang bener-bener aman. Bisa dalam bentuk hotline, safe house, konseling gratis, atau pendampingan hukum. Ruang aman bukan cuma ide, tapi fasilitas nyata yang bisa diakses siapa saja yang butuh pertolongan cepat.
Perjuangan kesetaraan bukan cuma tugas perempuan. Laki-laki juga harus ikut turun tangan. Mulai dari mendukung secara aktif di rumah, menolak kekerasan verbal di tongkrongan, sampai ikut kampanye anti kekerasan. Ini bukan soal mengalah, tapi soal tanggung jawab bersama. Edukasi soal maskulinitas sehat juga penting biar nggak tumbuh generasi yang toxic.
Anak perempuan sering dikasih motivasi untuk “berani bermimpi”, tapi realitanya mereka masih dibatasi lingkungan. Akses pendidikan belum merata. Keterbatasan ekonomi sering bikin mereka dikawinkan muda. Maka, motivasi harus dibarengi akses nyata: beasiswa, pelatihan keterampilan, mentoring. Dorongan psikologis bagus, tapi harus diiringi dukungan struktural juga.
Masih banyak tindakan salah yang dibela dengan alasan “budaya”. Misalnya, anak perempuan disuruh diam saat dilecehkan karena harus jaga nama baik. Atau perempuan harus patuh total demi “harmoni rumah tangga”. Budaya seharusnya melindungi, bukan membungkam. Narasi ini harus dilawan bareng-bareng, lewat edukasi dan aksi nyata di komunitas.
Anak sering dianggap belum ngerti apa-apa. Tapi faktanya, mereka punya suara yang valid. Dalam banyak isu—mulai dari sekolah sampai lingkungan—pendapat mereka sering dikesampingkan. Padahal, melibatkan mereka bisa menciptakan kebijakan yang lebih ramah anak. Mereka tahu apa yang mereka butuhkan. Tinggal kita yang mau dengar atau nggak.
Media sosial jadi alat paling ampuh saat ini. Tapi konten edukatif sering tenggelam di antara konten viral lain. Maka, perlu kreator yang konsisten bikin konten bermakna: soal kesehatan reproduksi, bullying, mental health, parenting, dan lain-lain. Harus disajikan dengan cara yang fun tapi jelas. Ini cara efektif buat nyampein pesan ke generasi muda yang lebih visual.
Nggak harus tunggu dewasa buat bisa memimpin. Anak-anak bisa dilibatkan dalam forum-forum kecil, diskusi publik, atau organisasi sekolah. Perempuan muda juga harus dikasih panggung di komunitas. Ini membentuk rasa percaya diri dan tanggung jawab. Kepemimpinan itu bukan soal umur, tapi soal kesempatan untuk berkembang dan didengar.
Perubahan sistemik butuh gerakan bersama. Kita butuh komunitas yang peduli, organisasi yang aktif, dan individu yang mau konsisten. Satu orang bisa memulai, tapi ramai-ramai bisa bikin sistem berubah. Setiap orang bisa punya peran—entah sebagai relawan, edukator, donatur, atau penggerak. Yang penting, jangan diam. Karena perubahan dimulai dari keberanian bergerak.