
GRB Project – Partisipasi publik pada program Cek Kesehatan Gratis (CKG) menembus lebih dari 50,5 juta orang hingga 4 November 2025 dari total 53,6 juta pendaftar. Pemeriksaan dilakukan di layanan umum dan sekolah, dengan temuan utama: proporsi orang dewasa yang kurang aktivitas fisik—disebut “mager”—mencapai sekitar 95,8 persen. Angka ini menegaskan urgensi kebijakan kesehatan berbasis hak asasi manusia, berkeadilan gender, dan inklusif bagi kelompok rentan. Temuan dan capaian tersebut menjadi titik awal untuk memastikan hak kesehatan untuk semua benar-benar dirasakan tanpa terkecuali. Liputan6+2Ministry of Health Indonesia+2
Kementerian Kesehatan melaporkan CKG berlangsung 10 Februari–4 November 2025. Dari 53,6 juta pendaftar, 50,5 juta telah mengikuti pemeriksaan. CKG umum mencatat sekitar 34,3 juta kehadiran, sementara CKG sekolah menghimpun lebih dari 16 juta peserta. Pemeriksaan dinilai membuka peta masalah kesehatan lintas usia di tingkat nasional. Ministry of Health Indonesia+1
Data akhir Oktober 2025 menunjukkan pada kelompok dewasa, sekitar 95,8–96 persen peserta CKG tergolong kurang aktivitas fisik. Masalah lain yang dominan: karies gigi, obesitas sentral, overweight/obesitas, serta hipertensi—terutama pada lansia. Pada remaja, proporsi aktivitas fisik kurang mencapai sekitar 60 persen dengan catatan karies gigi dan anemia yang masih tinggi. Gambaran ini mengonfirmasi beban penyakit tidak menular (PTM) di kelompok produktif, sekaligus sinyal intervensi dini di sekolah. Antara News+2detikHealth+2
Dalam kerangka hak asasi, negara berkewajiban menyediakan layanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang tersedia, terjangkau, dapat diakses, dan bermutu—tanpa diskriminasi. Ini mencakup kelompok perempuan, penyandang disabilitas, lansia, pekerja informal, pekerja migran, masyarakat adat, serta komunitas marjinal di perkotaan. Untuk menutup kesenjangan, hak kesehatan untuk semua perlu dioperasionalkan lewat kebijakan, anggaran, dan mekanisme pengaduan yang bisa diakses publik.
Meski cakupan CKG tinggi, akses lanjutan (rujukan, obat, konseling, rehabilitasi) belum merata. Hambatan yang berulang antara lain jarak ke fasilitas kesehatan, biaya transport, waktu tunggu, informasi yang tidak inklusif, serta kekerasan berbasis gender di ruang publik yang membuat banyak perempuan enggan beraktivitas di luar rumah. Karena itu, hak kesehatan untuk semua harus diterjemahkan ke solusi di lapangan yang mengatasi hambatan sosial, budaya, ekonomi, dan keamanan.
Perempuan sering menanggung beban ganda (kerja berupah dan kerja perawatan) yang membatasi waktu cek kesehatan dan aktivitas fisik. Keamanan ruang publik, pencahayaan jalan, serta ketersediaan toilet dan ruang laktasi memengaruhi partisipasi. Program pasca-CKG perlu mengintegrasikan layanan kesehatan reproduksi, deteksi kekerasan, dan rujukan psikososial. Keadilan layanan baru terwujud bila hak kesehatan untuk semua terukur pada indikator akses perempuan—termasuk ibu tunggal dan pekerja rumahan—ke aktivitas fisik yang aman dan gratis.
Bagi penyandang disabilitas, hambatan terjadi pada akses fisik (ramp, lift, jalur pemandu), komunikasi (bahasa isyarat, braille, audio), hingga sikap (ableism) dalam pelayanan. Janji temu berbasis aplikasi harus ramah pembaca layar; antrean perlu menyediakan jalur prioritas dan pendampingan. Pelatihan tenaga kesehatan tentang disabilitas sangat penting. Dengan begitu, hak kesehatan untuk semua tidak sekadar slogan, melainkan standar operasional sejak pendaftaran hingga rujukan.
Di banyak wilayah terpencil, hambatan logistik, sinyal, dan keterbatasan tenaga kesehatan masih dominan. Klinik keliling, kemitraan dengan tokoh adat, dan kader berbahasa lokal dapat meningkatkan skrining lanjutan, edukasi PTM, dan aktivitas fisik berbasis komunitas. Program gizi dan kesehatan gigi sekolah yang konsisten membantu memutus rantai risiko sejak dini. Prinsipnya, hak kesehatan untuk semua mengharuskan desain layanan yang menghormati pengetahuan lokal dan adat setempat.
Pekerja harian, pedagang kaki lima, dan kurir kerap sulit hadir pada jam layanan reguler. Faskes perlu memperluas jam layanan sore/malam, end-to-end rujukan cepat, serta paket pengobatan yang terjangkau. Untuk pekerja migran, koordinasi lintas daerah dan negara asal/tujuan memastikan kontinuitas pengobatan. Kerangka kebijakan yang menyebut hak kesehatan untuk semua harus memuat fleksibilitas waktu, jaminan sosial, dan perlindungan dari diskriminasi di tempat kerja.
Hasil CKG menyimpan informasi sensitif. Prinsip “minimisasi data”, enkripsi, audit akses, dan persetujuan yang jelas perlu diberlakukan. Pihak ketiga tidak boleh menggunakan data untuk diskriminasi kerja atau asuransi. Edukasi pasien soal hak atas salinan rekam medis, second opinion, dan mekanisme protes penting untuk menjaga kendali warga atas data. Perlindungan ini bagian dari hak kesehatan untuk semua di era digital.
Masalah kurang gerak menuntut solusi lingkungan. Pemerintah daerah dapat membangun trotoar yang layak, jalur sepeda, taman aktif, dan pusat kebugaran komunitas gratis—dengan keamanan memadai, lampu jalan yang baik, dan patroli lingkungan. Sekolah dapat menambah jam aktivitas fisik berkualitas, sementara kantor mengadopsi program “gerak tiap 60 menit”. Transparansi anggaran penting agar intervensi benar-benar memperluas hak kesehatan untuk semua, bukan hanya slogan kampanye.
Keberhasilan CKG ditentukan oleh tindak lanjut: pasien hipertensi memperoleh obat esensial kontinu; peserta dengan obesitas sentral mendapat konseling gizi dan aktivitas fisik; masalah gigi dirujuk ke layanan tambal/cabut; anemia remaja ditangani dengan TTD terjadwal. Digitalisasi rujukan memangkas waktu tunggu; edukasi pasien memastikan kepatuhan. Semua proses ini harus membaca kacamata ketidaksetaraan, agar hak kesehatan untuk semua menyentuh yang paling sulit dijangkau.
Pemerintah pusat dan daerah memerlukan rencana pembiayaan multi-tahun untuk PTM, kesehatan gigi, kesehatan mental, dan olahraga publik. Indikator kinerja perlu dipublikasikan: persentase pasien yang mendapat obat tepat waktu, lama tunggu rujukan, pemanfaatan jalur disabilitas, serta penurunan ketimpangan antardaerah. Partisipasi warga—termasuk organisasi perempuan dan komunitas disabilitas—harus dilembagakan. Ini pondasi fiskal dan sosial agar hak kesehatan untuk semua terukur dan berkelanjutan.
Target tindak lanjut: tetapkan indikator “pasca-CKG” untuk hipertensi, diabetes, karies, anemia, dan obesitas sentral; laporkan per triwulan di dashboard publik.
Jam layanan fleksibel: perluas jam malam/akhir pekan di puskesmas; sediakan daycare/pojok anak untuk pengunjung perempuan pekerja.
Infrastruktur gerak: bangun jalur pejalan kaki, sepeda, dan taman aktif yang terang dan terawasi; siapkan kelas gerak komunitas gratis yang peka gender.
Inklusi disabilitas: wajibkan audit akses fisik/komunikasi; tambah juru bahasa isyarat; latih tenaga kesehatan anti-diskriminasi.
Layanan sekolah: tambah jam aktivitas fisik berkualitas; perluas program kesehatan gigi dan TTD; perkuat edukasi gizi berbasis menu lokal.
Perlindungan data: terapkan persetujuan terinformasi, audit akses, enkripsi; larang pemanfaatan data kesehatan untuk diskriminasi kerja.
Pembiayaan: alokasikan anggaran PTM dan fasilitas olahraga publik yang pro-perempuan dan disabilitas; gunakan skema kolaborasi lintas sektor.
Transport aman ke faskes: integrasikan angkutan umum/ojek aman dengan rujukan; sediakan kuota subsidi bagi lansia dan disabilitas.
Mekanisme pengaduan: buka kanal inklusif (teks, suara, video bahasa isyarat) dan SLA penanganan kasus; libatkan organisasi masyarakat sipil.
Pemantauan kolaboratif: lembagakan forum pemantau independen untuk mengawal hak kesehatan untuk semua dalam kebijakan dan implementasi.
Cakupan CKG menampilkan skala gerak publik dan kapasitas negara memperluas layanan dasar. Namun pemeriksaan massal hanya menjadi awal. Tantangan terbesarnya adalah menjembatani warga ke layanan lanjutan yang terjangkau, aman, dan bebas diskriminasi, sekaligus membangun lingkungan yang mendorong aktivitas fisik setiap hari. Pada titik inilah hak kesehatan untuk semua diuji: ketika kebijakan, anggaran, dan infrastruktur menyentuh mereka yang selama ini paling sulit mengakses layanan.