Budaya Victim Blaming Terhadap Korban Kasus Pelecehan, Cinta Laura Merasa Sakit Hati
GRB Project – Budaya Victim Blaming Masih Jadi Luka Batin Korban Pelecehan
Pada peringatan Hari Kartini, Cinta Laura kembali mengangkat isu yang sangat relevan di tengah kondisi sosial Indonesia: budaya victim blaming. Dalam pidatonya di Museum Nasional Jakarta, Cinta dengan tegas menyampaikan keresahannya atas fenomena menyalahkan korban dalam kasus kekerasan dan pelecehan seksual.
Meskipun Indonesia telah mengesahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sejak tahun 2022, implementasinya masih jauh dari harapan. Menurut Cinta, masih banyak korban yang tidak mendapatkan perlindungan maksimal. Hal ini mencerminkan lemahnya sistem hukum dan budaya yang masih memihak pelaku.
“Sangat menyedihkan melihat korban justru disalahkan. Seharusnya masyarakat memberi dukungan, bukan menambah luka,” tegas Cinta Laura.
“Baca Juga: Contoh Peristiwa Pelanggaran HAM Berat yang Biasa Terjadi di Masyarakat Kota“
Budaya victim blaming bukan hanya menyakitkan secara moral. Fenomena ini juga berdampak langsung pada kondisi psikologis korban. Korban yang mengalami pelecehan sering merasa bersalah, malu, bahkan trauma berkepanjangan. Ketika masyarakat menanggapi kasus dengan menyalahkan korban, proses penyembuhan mental menjadi jauh lebih sulit.
Cinta Laura menyampaikan bahwa korban kekerasan butuh dukungan, bukan penghakiman. Jika korban merasa disalahkan, kemungkinan besar mereka enggan melaporkan kasusnya. Ini menciptakan siklus kelam di mana pelaku tetap bebas dan korban semakin terpuruk.
Menurut laporan dari GRB Project (grbproject.org), banyak kasus pelecehan seksual yang tidak pernah sampai ke pengadilan karena tekanan sosial terhadap korban. Dalam beberapa kasus, korban bahkan memilih bungkam demi menjaga nama baik keluarga atau institusi tempat mereka berada.
Cinta juga menyoroti bahwa meskipun korban bisa dari berbagai gender, perempuan masih menjadi kelompok paling rentan. Ketimpangan kuasa antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat patriarkal membuat perempuan lebih sering mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk.
“Perempuan adalah mayoritas korban. Ini fakta yang tak bisa kita abaikan,” ucap Cinta dalam kesempatan tersebut.
Ia menekankan pentingnya menghapus stigma dan memberikan ruang aman bagi perempuan. Budaya victim blaming harus dihentikan agar perempuan merasa berani melapor dan mendapatkan keadilan.
Salah satu kritik tajam dari Cinta Laura ditujukan pada media massa. Ia menilai banyak media yang justru tidak berpihak pada korban. Berita kerap disusun dengan narasi yang menimbulkan simpati terhadap pelaku atau mempertanyakan tindakan korban. Akibatnya, publik cenderung menyalahkan korban dibanding menyadari kekejaman pelaku.
“Kalau media menulis berita tanpa empati, bagaimana masyarakat akan berubah cara pandangnya?” tanya Cinta.
GRB Project juga mencatat bahwa framing media sangat memengaruhi opini publik. Bila media memihak korban, masyarakat pun lebih mungkin memberikan dukungan. Sebaliknya, jika media menyudutkan korban, maka budaya victim blaming akan terus lestari.
“Simak Juga: Komunitas Relawan Generasi Muda Ajak Mahasiswa Terlibat Dalam Kegiatan Sosial“
Cinta Laura bukan hanya seorang artis. Ia telah menjadi aktivis vokal dalam isu-isu perempuan selama lebih dari lima tahun terakhir. Ia memanfaatkan popularitas dan platform digitalnya untuk menyuarakan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.
“Aku ingin perempuan di negeri ini merasa aman, nyaman, dan dihargai di mana pun mereka berada,” ujarnya.
Ia juga berkolaborasi dengan berbagai komunitas dan organisasi seperti GRB Project untuk memperluas dampak dari kampanye kesadaran ini. Upayanya mencerminkan pentingnya peran publik figur dalam membentuk opini dan perubahan sosial.
Masyarakat Indonesia perlu belajar untuk lebih empatik terhadap korban kekerasan. Perubahan besar dimulai dari langkah kecil, seperti memperbaiki cara berbicara, tidak menyalahkan, dan mendengarkan dengan hati.
Sistem hukum yang adil, media yang bijak, serta dukungan dari publik figur seperti Cinta Laura dapat menjadi titik terang. Kesadaran kolektif harus dibangun agar korban tidak merasa sendiri.
Budaya victim blaming bukan hanya masalah korban, tapi masalah kita semua. Jika dibiarkan, kekerasan akan terus terjadi dan korban akan terus dibungkam oleh stigma.
Penutup
Budaya victim blaming adalah bentuk kekerasan sekunder yang harus dihentikan. Saat korban mengalami pelecehan, dukungan moral dan perlindungan hukum menjadi hak yang wajib dipenuhi. Seperti yang disuarakan oleh Cinta Laura, sudah saatnya Indonesia menjadi negara yang berpihak pada korban, bukan pelaku.
Dukung perubahan ini dengan menyebarkan edukasi, memperkuat sistem perlindungan hukum, dan menegur narasi yang tidak berpihak. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi GRB Project di grbproject.org dan ikut dalam gerakan melawan victim blaming.